(Ramadhan) Antara Nongkrong, Kemacetan dan Kebiasaan
PADA HARI PERTAMA BULAN SUCI RAMADHAN 1425 H, masih terlihat tradisi yang bertahan di Yogyakarta tentang berjualan penganan kecil dan minuman di pinggiran jalanan kota. Betapa tidak, dari perempatan selokan Mataram hingga pertigaan Purna Budaya sudah penuh dengan penjual jajanan pasar di kiri dan kanan jalan. Mau tak mau, kemacetan lalu lintas terjadi hingga mobilitas tak bergerak dalam puluhan detik karena saking padatnya.
Di balik kesemrawutan lalu lintas karena kendaraan saling mendahului satu dengan lain, berjajar komunitas kendaraan baik roda dua maupun empat yang menjajakan kolak sampai es buah. Aksi jualan kolak itu, merupakan wadah untuk berkumpul di tempat nongkrong baru yang banyak dikunjungi orang untuk berbuka puasa bersama. Tidak tampak sama sekali sebagai penjual yang mengabdikan dirinya untuk mempertahankan dapur tetap berasap.
Hanya "iseng" setahun sekali yang terus berlanjut dari generasi ke generasi tanpa mengenal siapa yang memulai tradisi tersebut. Mayoritas adalah mahasiswa atau pelajar yang ingin jualan sambil menunggu buka puasa sekaligus dapat uang hasil jerih payah bakulan selama dua jam. "Kita nggak buat sendiri kok, kita beli di Pasar Kranggan dengan jumlah sedikit atau beli dari tetangga penjual yang sama-sama jualan daripada diam saja lihat orang lewat. Apalagi kita juga kumpul bareng sama yang lain untuk buka puasa bareng-bareng," tukas Indah mahasiswi UGM. Temannya lain bernama Citra juga nyeletuk bahwa tahun sebelumnya mereka juga melakukan hal yang sama.
"Kalau tempatnya sih tergantung siapa cepat maka dia yang dapat duluan. Jadi ya kalau tidak dapat tempat terpaksa ngungsi ke Jln Kaliurang atau dekat Purna Budaya," ucap Wulan. Nongkrong atau lebih dikenal dengan kongkow-kongkow ternyata menjadi daya tarik para kaum muda di Yogyakarta sehingga terlihat seperti semut ngerubungi gula. Semakin mendekati buka puasa, manusia yang berkumpul di kawasan tersebut semakin banyak. Dibandingkan dengan yang membeli jajanan untuk buka puasa, ternyata lebih banyak yang nongkrong. "Wah, ya daripada kumpul yang enggak-enggak di bulan Ramadhan kan lebih baik di sini sambil lihat-lihat yang lewat juga ketemu sama teman sendiri," terang Teguh mahasiswa pendatang dari Semarang.
Berbeda halnya dengan Sunu dan Ella pegawai swasta, secara terpisah mereka mengatakan bahwa pulang kerja itu lelah tapi lihat macet seperti itu membuat mereka semakin capek apalagi ingin pulang ke rumah dan buka bersama keluarga. "Niatnya pengen cepet pulang harus cari jalan lain yang lebih jauh biar tidak kena macet, di sini malah macet juga. Kan susah mas," ujar Ella.
Nongkrong di pinggir jalan yang sudah menjadi agenda rutin tiap tahunnya tentunya selalu menyisakan keuntungan dan kerugian yang harus ditanggung oleh masing-masing orang dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Namun kondisi tersebut tetap jadi momen yang terus berlangsung untuk tiap tahun selama para ada yang mau nongkrong dan beli di tempat yang sama.
Kirim Komentar