Situs Seni & Budaya
Kotagede
Kotagede, Yogyakarta

Ulasan

Kota gede merupakan kota tua yang kini telah berusia 4 abad. Dahulu kala daerah ini merupakan Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa. Sebagai kota tua, aspek kehidupan tradisionalnya ternyata mampu berjalan seiring dengan kehidupan modern. Artinya, Kotagede terus tumbuh dan berkembang sebagaimana kebudayaan yang menjadi nafas kehidupan juga terus tumbuh dan berkembang secara dinamis. Kehidupan budaya di Kotagede makin lama makin menjadi kaya karenanya.
Melihat kuatnya nilai sejarah yang ada, ditambah lagi Kotagede lah yang menurunkan Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogyakarta
memiliki adat budaya yang cukup mempesona. Maka, nasib Kotagede alangkah celakanya kalau tidak memiliki arak-arakan alegoris
lintasan sejarah secuil pun.
Atas dasar pemikiran tersebut, perlu sebuah revitalisasi dengan menggali dari titik penting sejarah yang tersedia. Dimulai
dari cikal bakal Kraton Mataram dengan tokoh utama Ki Ageng Pemanahan setelah Pajang surut dari gelanggang kekuasaan, maka
Mataram menjadi penggantinya. Tujuh tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pemanahan, yakni pada 1582, Sultan Hadiwijaya di
Pajang juga meninggal dunia setelah sakit sehabis kalah perang dengan Sutawijaya.
Pangeran Benawa yang seharusnya menggantikan Sultan Hadiwijaya ternyata disingkirkan Arya Pangiri. Sutawijaya terpanggil
untuk membela induk semangnya, praja Pajang. Pemberontakan Arya Pangiri berhasil dipatahkan.
Memperhatikan intrik dan suksesi tahta Pajang yang terus menerus pahit, tentu akan menghasilkan sejarah yang gelap sejak Pati
Unus berkuasa, Surawinata ayah Arya Penangsang dibunuh Raden Prawoto anak Trenggono, sampai Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir
menantu Sultan Trenggono). Sutawijaya menolak meneruskan tahta Pajang, kemudian dia memindahkan dan menyelamatkan tahta
Pajang ke Mataram dan menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575 â 1601).
Dengan demikian Mataram yang semula merupakan sebuah Kadipaten yang tunduk kepada Pajang, kemudian naik statusnya menjadi
sebuah kerajaan. Untuk menjadi raja, Sutawijaya selain memboyong tahta (sebuah dampar), juga membawa sipat kandel lainnya
berupa pusaka-pusaka kerajaan Pajang, seperti : Gong Kyai Sekar Delima, Jathayu Cekathikan, Myang Kandali Macan Guguh (sumber
: Dr. Purwadi, M. Hum, Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa, Penerbit Media Abadi, Yogyakarta).
Di samping memboyong seluruh pusaka, Sutawijaya juga memboyong budaya yang ada, menurut cerita yang diingat masyarakat dan
dikisahkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, budaya corak busana antara Pajang yang ditinggalkan dan Mataram yang
akan disongsong pun mengalami perbedaan. Mataram memperoleh busana yang disebut Surjan, dari akronim asal kata Ngesur
Keprajan (wawancara dengan Bapak Asrori, abdi dalem pasareyan Kotagede, Kasultanan Yogyakarta).