Upacara Adat & Festival Budaya
Labuhan Saptosari
Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul INDONESIA

Ulasan
Desa Kanigoro merupakan salah satu wilayah Kecamatan Saptosari, yang merupakan desa paling selatan dan termasuk desa yang tertinggal. Meskipun Upacara Labuhan atau Sedekahan Laut dilaksanakan di Kanigoro, tetapi lebih dikenal dengan sebutan Labuhan Saptosari. Desa yang letaknya cukup jauh dari pusat keramaian kota Wonosari ini, terbagi menjadi sepuluh dusun di mana baru tiga dusun yang terjangkau listrik.
Transportasi umum ke Kanigoro khususnya ke pantai Ngrenehan belum memadai. Prasarana transportasi yang berupa jalan yang sudah diaspal baru 12 kilometer dan yang diperkeras 20 kilometer. Dilihat dari letak dan kondisi wilayah Desa Kanigoro, selain jauh dari jangkauan, juga jauh dari pusat-pusat ekonomi (pasar).
Upacara adat Labuhan Saptosari atau Sedekah Laut yang diadakan masyarakat setempat sebenarnya baru berlangsung beberapa kali pelaksanaan (kurang lebih 10 kali). Upacara ini adalah sebuah adopsi dari upacara labuhan yang dilakukan masyarakat nelayan Baron, dari keseluruhan tata cara upacara. Sebelumnya, masyarakat Kanigoro telah memiliki tradisi upacara Golongan, yang kini tidak dilaksanakan lagi dan diganti dengan upacara Labuhan Saptosari ini.
Upacara Golongan
Upacara Golongan merupakan tradisi turun-temurun dalam penduduk Kanigoro yang
sebagian besar adalah petani tapi mempunyai tambahan penghasilan dari mengambil
teri/impun di pantai Ngrenehan. Pada musim labuh ketika petani akan mulai mengolah
tanah, petani setempat biasa mencari teri yang muncul lebih banyak di tepi pantai.
Setelah panen teri, penduduk setempat mengadakan upacara Golongan sebagai bentuk
syukur atas karunia teri yang berlimpah.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Desa Kanigoro diberi bantuan perahu pencari ikan. Dalam perkembangannya, para peteni mendapat hasil lebih banyak dari tangkapan laut. Keadaan ini memperluas kegiatan kerja penduduk, seperti bakul ikan, tukang parkir, dan warung penjual ikan. Bahkan, tradisi Golongan ikut terpengaruh dan penduduk beralih melakukan upacara Labuhan Saptosari.
Upacara Labuhan Saptosari
Upacara sedekah laut ini sangat berbeda dengan upacara Golongan, baik dari segi
waktu pelaksanaan, sesaji, maupun prosesi upacara. Upacara Labuhan Saptosari dilaksanakan
setahun sekali setiap malam 1 Sura jam 24.00 WIB dengan membuang sesaji ke tengah
laut lewat pantai Ngrenehan. Tujuannya adalah mohon keselamatan kepada Yang Maha
Agung dan memberikan persembahan kepada penguasa laut supaya para nelayan selamat
dalam mencari ikan dan mendapat hasil tangkapan yang banyak.
Sebelum upacara dimulai, diadakan slametan di pantai yang dipimpin oleh Juru Kunci dan dilanjutkan dengan upacara Labuhan Saptosari yang agak formal dengan sambutan-sambutan dari panitia dan wakil pemerintah daerah setempat. Setelah doa-doa, semua menuju ke laut membawa sesajian dengan diiringi gendhing Kebogiro.
Sesaji upacara Labuhan Saptosari ini ada pitung jodho yang diperuntukkan bagi:
- Satu jodho untuk nelayan
- Satu jodho untuk tempat wayangan
- Satu jodho untuk tempat urang
- Satu jodho untuk jaring dan perahu
- Satu Jodho untuk alatâalat wayang
- Satu Jodho untuk tempat upacara
- Satu Jodho untuk penonton wayang
Setiap sesaji mempunyai makna. Misalnya ayam jantan, sebagai simbol bahwa nelayan adalah laki-laki yang sangat berani dan tidak takut mati untuk mengarungi samudera. Gunungan bentuk perahu, sebagai simbol penghidupan nelayan. Jenang-jenangan, jenang abang sebagai simbol biyung, dan jenang putih simbol bapak. Tanaman tebu, sebagai simbol untuk melindungi masyarakat. Lauk pauk dari kambing, simbol korban di dalam mencari ikan yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Kemben sutera ungu, sebagai simbol busana Kanjeng Ratu Kidul untuk diberikan kepada prajuritnya supaya tidak mengganggu nelayan. Dan juga buah-buahan, yang ditujukan kepada penunggu pesisir supaya tidak mengganggu nelayan.
Iring-iringan menuju ke laut adalah gunungan (guwa), dhomas, perangkat desa,
dan nelayan. Gunungan dibawa ke tengah laut dengan satu perahu yang dikawal empat
perahu. Setelah di tengah laut, kurang lebih satu kilometer, gunungan dilepas
oleh juru kunci disertai dengan doa permohonan kepada Kanjeng Ratu Kidul:
"Nyuwun tedha rahayu slamet para nelayan, nek dibucali entene niki, dene onten
kekurangane isine guwo niki nyuwun pangapunten. Dene bokmenawi nelayan lampah
sepindhah, satrimah nyuwun ngapura, paranelayan nyuwun iwak."