Sejarah
Yogyakarta : Dari A ke Z
Daerah Istimewa Yogyakarta, INDONESIA
Ulasan
Sejarah Yogyakarta
"Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa tahapan. Awalnya, jejaknya ditemukan saat masa pra sejarah di Gunung Kidul dan Bantul"
Jogja, Indonesia – www.gudeg.net Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa tahapan. Pertama, masa Prasejarah yang jejaknya ditemukan di Gunung Kidul dan Bantul. Kedua, periode klasik atau masa Hindu-Budha. Saat itu masa dimulainya pemerintahan berbentuk kerajaan. Hingga akhirnya pengaruh Islam masuk ke Indonesia. Lalu muncul kekuatan politik baru Kerajaan Mataram Islam di Kotagede.
Awalnya, Yogyakarta merupakan kerajaan Mataram Islam yang menjadi Kasultanan Yogyakarta dan dipimpin Ki Ageng Pemanahan pada abad ke-17. Ia bergelar Panembahan Senopati. Sayangnya, ia meninggal enam tahun kemudian.
Lalu, kekuasan beralih ke Pangeran Jolang, putra Panembahan Senopati. Pada tahun 1613 M, ia meninggal saat berburu di hutan. Semasa hidupnya, ia sempat menjalin hubungan dagang dengan Kolonial Belanda.
Sultan Agung menjadi raja berikutnya. Awalnya, hubungan bersama Kolonial Belanda berjalan baik. Lambat laun Sultan Agung merasa janggal dan berusaha menaklukkan Kolonial Belanda. Sayangnya, jumlah pasukan semakin sedikit karena kurangnya logistik, timbulnya berbagai penyakit, serta penggunaan senjata lebih modern sekutu.
Pada tahun 1647 M terjadi perubahan kekuasaan. Saat itu Sunan Amangkurat I yang terkenal arogan dan sewenang-wenang menjadi kepala pemerintahan. Konon, ia tega membunuh adiknya sendiri, Pangeran Alit karena tak sepaham dengan kebijakan politik pemerintahannya. Oleh karenanya, banyak pihak memilih melepaskan diri dari pemerintahan Sunan Amangkurat I.
Kondisi tersebut memberi kesempatan pemerintah kolonial Belanda memberikan dukungannya lewat perusahaan dagang VOC. Rakyat yang kehilangan simpati mulai melawan. Sunan Amangkurat I melarikan diri ke arah barat dan meminta bantuan VOC. Ia pun meninggal dalam pelariannya pada 10 Juli 1677.
Setelah Sunan Amankurat I meninggal, kekuasaan jatuh di tangan Sunan Amangkurat II, putranya. Saat memimpin pemerintahan ia tetap menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, dalam karya sastra Babad Tanah Jawi dikisahkan ia berpakaian layaknya orang Belanda setiap hari dan selalu bersama mereka. Kerja sama tersebut sebenarnya merugikan pihak kraton. Saat itu VOC menarik biaya perang bahkan meminta sebagian wilayah di pulau Jawa ketika saat pihak kerajaan meminta bantuan.
Pangeran Puger, saudara Sunan Amangkurat II yang berkuasa di Plered tidak mau mengakuinya sebagai raja Mataram. Kemurkaan Sunan berujung pada penyerangan Mataram ke Plered, November 1680. Akibatnya, Pangeran Puger mundur dan mengakui kedaulatan saudaranya.
Berturut-turut, Sunan Amangkurat III, Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, dan Sunan Paku Buwana II menjadi pemegang tampuk kekuasaan berikutnya.
Situasi semakin rumit. Pemerintahan yang dulunya berpusat di Kartasura Adiningrat pindah ke Surakarta akibat pemberontakan rakyat yang membenci penguasa. Naas, keadaan memburuk di Surakarta dan berujung pada berakhirnya dinasti Mataram.
Kekuasaan dinasti Mataram selesai saat ditandatanganinya perjanjian Giyanti tahun 1755 M. Perjanjian ini membuahkan kesepakatan dipecahnya kekuasaan Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I memimpin Kasultanan Yogyakarta. Sedangkan Sunan Paku Buwono III menjadi penguasa Kasunanan Surakarta.
Saat masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, orang keturunan Cina berdatangan dan bermukim di Yogyakarta. Mereka lalu berdagang dan menguntungkan bagi pihak Kasultanan. Karenanya ditunjuk beberapa Kapiten Cina guna mengurus kepentingan orang-orang Cina di Yogyakarta. Bahkan Kapiten Cina bernama Tan Jin Sing dianugerahi gelar KRMT Secodiningrat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Masa-masa selanjutnya menjadi periode sulit bagi Kasultanan Yogyakarta. Titik cerah mulai Nampak saat pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1821). Berlanjut ketika kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VIII. Perubahan itu salah satunya tampak dari pembangunan dan penyempurnaan lingkungan kraton.
Setelah naik tahta tahun 1940, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan perubahan birokrasi di kraton. Beliau dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945 yang menegaskan, baik Kasultanan maupun Pakualaman merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta membentuk satu Badan Pekerja yang berfungsi sebagai wakil rakyatnya.
Sekarang Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan tersebut karena pertimbangan historis, yuridis, serta kondisi realita masyarakat Yogyakarta.
Disarikan dari berbagai sumber.
Sejarah dan Filosofi Kraton Yogyakarta
Menurut Perjanjian Giyanti atau disebut juga Palihan Nagari, Pangeran Mangkubumi berhak memiliki setengah wilayah kerajaan Mataram dan menyandang gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I Ing Ngayogyakarta Hadiningrat dan memiliki ibukota di Yogyakarta.
Sebelumnya, Nicolaas Hartingh dengan P. Mangkubumi bertemu di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi di desa Padhagangan, Grobogan. Saat itu terjadi perdebatan sengit antara P. Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh. Saking lamanya sampai menghabiskan waktu dua hari mulai Minggu sampai Senin. Dari 22 sampai dengan 23 September 1754. Tiga hal yang diperdebatkan meliputi pembagian wilayah, gelar raja dan lokasi bagian Pangeran Mangkubumi.
Awalnya, pihak kolonial Belanda mengajukan setengah Jawa sebelah timur menjadi milik Pangeran Mangkubumi. Mereka berdalih karena basis pertahanan Pangeran Mangkubumi di bagian Timur. Usulan kolonial tersebut merupakan alasan yang dicari-cari. Penyebabnya jelas: orang-orang Jawa Timur sangat sulit diperintah penjajah Belanda. Untuk pembagian wilayah dan lokasi ibukota kerajaan ini Pangeran Mangkubumi “ngotot” menginginkan wilayah Barat dan lokasi ibukotanya ada di Mataram Ngayogyakarta.
Pihak Belanda coba “mengadu domba”. Pangeran Mangkubumi mencium politik devide et empera itu. Ia beranggapan apabila letak keraton sebagai ibukota kerajaan pilihan Pangeran Mangkubumi mendekati kraton Surakarta, Belanda sangat khawatir apabila dua raja tersebut bersatu melawan Belanda, pihak Belanda bisa sangat kerepotan.
“Ngototnya” Pangeran Mangkubumi menentukan lokasi kraton di Ngayogyakarta karena pertimbangan nilai filosofis magis terkait lokasi dan topografi bakal calon ibukota kerajaan Pangeran Mangkubumi tersebut.
Akhirnya, untuk urusan penentuan lokasi kraton sebagai pusat pemerintahan, Belanda terpaksa mengalah. Sedangkan untuk sebutan raja, Pangeran Mangkubumi bersedia disebut Sultan bukan Sunan. Beliau berpandangan jangan sampai memiliki sebutan yang sama dengan raja di Surakarta yang berefek seolah olah ada dua kekuasaan yang sama besarnya atau istilahnya matahari kembar.
Akhirnya, Perjanjian Perdamaian atau Traktat Reconciliatie ini disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada Kamis Kliwon, 29 Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, Wuku Langkir atau 13 Februari 1755. Perjanjian ini dikenal sebagai Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.
Ada beberapa pangeran yang ikut menandatangani Perjanjian Giyanti, antara lain Pangeran Harya Hamangkunagara Mataram, Pangeran Ngabehi Lering Pasar, Pangeran Natakusuma, Pangeran Harya Pakuningrat, Adipati Danureja, dan Tumenggung Rangga Prawiradirja.
Ada dua pemilik wilayah terbesar setelah perjanjian Giyanti ini. Pertama, Nagara Agung Sri Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Nagari ini Nagara-Agung Sri Sultan hamengku Buwana I memperoleh bagian 53100 karya atau luasan wilayah seperti Mataram, Pajang, Sukawati, Bagelen, Kedu, serta Bumi Gedhe.
Kedua, Mancanagara Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beliau memperoleh 33950 karya. Antara lain wilayah Madiun, Magetan, Caruban, setengah Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang(Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari) serta Grobogan.
Dua hari sesudahnya, Sabtu Pahing 15 Februari 1755, Sunan Paku Buwana III bertemu Sultan Hamengku Buwana I di desa Lebak Jatisari. Saat itu Sunan Paku Buwana III memberikan keris pusaka Kangjeng Kyai Kopek kepada Sultan Hamengku Buwana I.
Sebulan kemudian, Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan setengah Negara Mataram yang menjadi wilayah kekuasaanya dinamai Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini, khususnya tanggal, bulan dan tahun Jawa menjadi penanda Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta.
Lalu, pada Kamis Pon tanggal 3 Sura, Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwana I mesanggrah atau tinggal di Ambar Ketawang dan memerintahkan memulai pembangunan Karaton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan.
Setahun kemudian. Pada 7 Oktober 1756 atau Kamis Pahing 13 Sura 1682 Pangeran Mangkubumi atau dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya tinggal di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perpindahan Sultan Hamengku Buwana I dan keluarganya dari Ambar Ketawang ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 7 Oktober 1756 M. atau 13 Sura 1682 J yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi kota Yogyakarta. Pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dilakukan secara bertahap. Oleh karenanya Sri Sultan Hamengku Buwana I sebelum menempati kraton baru sementara tinggal di gedhong Sedhahan.
Alasan Pangeran Mangkubumi memilih lokasi Karaton Yogyakarta sebagai ibukota negara karena unsur budaya, filosofi, religi, nilai historis serta filosofis-religius yang sangat dipercaya mempengaruhi sikap perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya. Sri Sultan Hamengku Buwono I selain dikenal ahli strategi perang, juga arsitek, negarawan serta budayawan sejati.
Yogyakarta / Jogja “Things to Do”
Yogyakarta atau Jogjakarta menjadi destinasi wisata pilihan di Indonesia setelah pulau Bali. Selain biaya akomodasi yang murah, kota istimewa ini memiliki berbagai keunikan dan berbagai seni pertunjukan. Ada beberapa tips dari Gudegnet selama berlibur di Yogyakarta. Ini dia daftarnya:
#1 Mengunjungi Malioboro
Malioboro menjadi destinasi utama bagi wisatawan saat menikmati kota Yogyakarta. Wisatawan bisa berbelanja aneka jenis barang atau sekedar jalan-jalan. Selagi berwisata, pengunjung sebaiknya juga membekali diri ilmu menawar. Kuncinya berani! Semisal, harganya Rp. 20.000,00, Anda bisa menurunkan harga ke Rp. 10.000,00. Bahasa tubuh dan ekspresi sangat menentukan sukses atau tidaknya negosiasi itu. Hindari itu kelihatan sangat menginginkan barang yang ditawarkan. Bahasa gaulnya: biasa saja kale. Jika belum deal, tinggal saja! Berharaplah Anda dipanggil kembali. Kalau belum dipanggil, ya datang saja lagi. Selamat berbelanja!
#2 Berbelanja di Pasar Beringharjo
Pasar Beringharjo menjual berbagai barang aneka bentuk dan ukuran. Mulai peniti sampai panci kuningan. Sandal japit sampai mesin motor. Jalan-jalan ke pasar Beringharjo member petualangan tersendiri. Saat di sana, gunakan trik menawar seperti di Malioboro.
#3 Menikmati gudeg
Gudeg menjadi makanan wajib cicip saat di Jogja. Ada berbagai tempat makan mulai dari kaki lima sampai restoran yang menjual gudeg di penjuru Yogyakarta. Sedangkan pusat gudeg paling terkenal ada di daerah Wijilan, dekat Alun-alun Utara.
#4 Berfoto di Tugu Yogyakarta
Aktivitas berfoto di tugu Pal Putih saat senja menjadi keasyikan sendiri saat Anda berada di Jogja. Selama berfoto perhatikan batas, jangan sampai mengambil foto di tengah jalan karena akan menganggu arus lalu-lintas.
#5 Makan di Angkringan
Angkringan! Kata ini begitu populer di Jogja. Sebenarnya, angkringan ini menunjukkan aktivitas saat makan bisa duduk di kursi sambil mengangkat satu kaki atau dalam bahasa Jawa disebut ngangkring. Untuk urusan rasa makanan di angkringan “ya begitu saja”. Namun, yang menjadi istimewa suasananya yang akrab, tenang, serta guyon gayeng khas Jogja.
#6 Menikmati Pantai
Jogja dan pantai satu kesatuan yang wajib Anda kunjungi. Gugusan pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Wonosari menjadi objek wisata wajib kunjung saat ada di Jogja.
#7 Mengunjungi Kraton Yogyakarta
Mengunjungi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah satu keharusan ketika Anda berlibur ke Yogyakarta. Tempatnya mudah dijangkau, yaitu di selatan Alun-alun Utara Yogyakarta. Anda dapat melihat keagungan seni dan budaya Jawa melalui keberadaan abdi dalem, bangunan Kraton dan Museum yang terletak di dalam area Kraton.
#8 Mengunjungi Candi-Candi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kaya candi dan benda cagar budaya lainnya dari masa lampau. Candi-candi yang tersebar di penjuru Yogyakarta ini sama indahnya dengan Candi Prambanan dan Ratu Boko.
#9 Belanja Oleh-Oleh Khas Jogja
Ada dua hal yang dibawa setelah selesai liburan; foto dan oleh-oleh. Buah tangan khas Jogja seperti bakpia, gudeg candil, serta kaos unik bertema Jogja cocok bagi orang-orang yang Anda cintai. Belilah oleh-oleh di tempat resmi dan hindari produk tiruan.
Demikian tips dari Gudegnet, semoga dapat membantu Anda selama menikmati liburan di Yogyakarta. Selamat berlibur!