Seniman & Budayawan
Viktor Sujono
Wirobrajan WB II/174 Yogyakarta INDONESIA 55252

Ulasan
Ilmu itu harus dibagi dan jangan disimpan sendiri, kalau tidak ilmu itu akan hilang. Petuah atau nasehat orang tua tersebut rupanya terpartri sangat dalam dalam pikiran seorang seniman batik dari Kota Yogyakarta bernama Viktor Sujono, yang lebih dikenal dengan sebutan Jon. Oleh karena itu, ilmu yang dipelajarinya selama bertahun-tahun dalam menggeluti seni batik, ditularkannya pada orang lain. âLewat kursus membatik, saya ingin menularkan pada orang lain seni batik yang telah saya pelajari sejak SMA dulu. Sayang kalau ilmu itu saya simpan sendiri dan akhirnya ikut mati bila saya meninggal nanti,â paparnya pada Gudeg.Net pada suatu hari.
Jon sendiri sudah menyukai batik sejak bersekolah di SMA Katholik Santo Thomas Yogyakarta hingga lulus pada tahun 1977. Kesenangannya tersebut berlanjut ketika bekerja sebagai asisten instruktur (1990) di Mini Gallery milik Tulus Warsito selama empat tahun yang akhirnya membuatnya bebas bereksplorasi menciptakan seni batik. Sadar akan pilihan hidupnya sebagai seorang seniman batik, Jon kemudian mulai mencoba memamerkan karya-karya yang dibuatnya. Pada tahun 1982, di Galeri Seni Sono, bekerja sama dengan Sadar Bakti, Jon menggelar pameran batik pertamanya. Kesuksesan pameran tersebut membawanya pada kompetisi âJubille Art Competition BBCâ di London pada tahun yang sama.
Pada tahun-tahun berikutnya, Jon semakin disibukkan dengan pameran-pameran dan workshop batik lainnya, seperti di Hotel Bima Jember (1984), di Switzerland (1988) bersama dengan Turmli Haus, âExposition Internasional de Peintures et Sculpturesâ di Perancis(1991), pameran tunggal di Schwabisch Hall Jerman (1992) dan di Drehpunkt Studio Bregenz, Austria (1994) dan Indonesian Intercultural Centre di Saint Paul, Montreal Kanada (1996). Terakhir pada tahun 2001 lalu ia berpameran tunggal dalam âExtra Dimension in My Paintings", Centre Cunltural den Fracais di Yogyakarta.
Dengan seabrek pengalaman, perupa yang merasa tidak punya masterpiece tersebut mengelola sebuah studio batik pribadi di Wirobrajan WB II/174 Yogyakarta. Di tempat itu pulalah, Jon menularkan keahliannya pada banyak orang yang datang menimba ilmu batik dari perupa kelahiran Yogyakarta, 21 Juli 1957. âKalau musim liburan tiba, banyak yang datang, terutama turis asing dari Australia, Eropa dan Jepang untuk belajar membatik.â akunya. Bila kita berjalan di daerah Wirobrajan hingga Ngasem, maka akan banyak dijumpai deretan studio dan galeri batik yang juga menawarkan kursus yang sama. Entah sejak kapan studio dan galeri tersebut mulai berdiri, Jon sendiripun tak tahu.
Sistem pembelajaran dalam kursus batiknya tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yakni mengajarkan ketrampilan pada seseorang. Namun yang membedakan adalah pada metode dan dan waktu pengajarannya. Bisa pilih satu hari selesai ataupun sepuluh hari hingga fasih membuat batik. Seperti halnya di studio miliknya, Jon juga mematok waktu satu, tiga, seminggu hingga sepuluh hari untuk belajar batik. Dengan biaya 200.000 rupiah selama satu hari misalnya, seorang peserta akan mendapatkan dasar dan pengenalan tentang seni batik tradisional serta belajar membatik secara benar.
Sedangkan untuk pembelajaran selama tiga hari tentang metode batik tradisonal serta teori tentang pewarnaan (naptol) batik, Jon mematok biaya 600.000 rupiah per orang. Bila ingin lebih fasih lagi, maka ia menyarankan pada para peserta kursusnya untuk belajar paling tidak seminggu hingga sepuluh hari dengan harga 1.100.000â1.700.000 rupiah. âDengan banyak waktu tersebut, banyak metode batik yang bisa diajarkan, seperti pengetahuan tentang 4 hingga 7 dasar penggunaan batik menjadi sebuah karya seni, dari pembuatan, penggunaan, dan komposisi warna batik,â jelas perupa lajang yang tak mau kehidupan pribadinya diketahui orang banyak tersebut.
Kelulusan peserta kursus membatik tergantung pada kemampuan dalam menyelesaikan tahapan pembuatan desain pada kain putih hingga menjadi lembaran batik jadi. Untuk legalisasi kursus, Jon menyediakan sertifikat kelulusan. Tapi kebanyakan para peserta kursus tidak memerlukannya, terutama para turis asing. "Mereka sudah senang bisa balik ke negaranya dengan mempunyai ketrampilan baru membuat batik yang pasti akan diceritakan pada keluarga atau teman-teman mereka,â papar Jon yang tinggal di Kleben WB 1/590, TR 26 Kuncen. Hal tersebut menguntungkannya dalam segi promosi karena akhirnya Jon tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya.
Akhirnya ia berharap pembelajaran yang dilakukannya bisa menjadi salah satu cara melestarikan seni kebudayaan yang adiluhung dari bangsa kita sendiri, selain tentu saja sebagai promosi tersendiri bagi geliat pariwisata di Kota Gudeg. Dengan apa yang telah dilakukan Jon dan studio-studio batik lainnya, ketakutan banyak orang akan musnahnya seni batik, semoga, tak beralasan lagi.