Seniman & Budayawan
Beng Rahardian
Jl. Pangampaan Dalam No. 14 Bandung, Jawa Barat

Ulasan
Di masa kini, orang tua dengan berbagai alasan sangat protektif dengan kegiatan anaknya, terutama yang berhubungan dengan elektronik, mulai dari PC-Games, Play Station 1+2, Sega dan peralatan lainnya. Hal tersebut menjadi sebuah alasan anti-sosial dan pengganggu pelajaran di sekolah. Tidak berbeda dengan satu generasi persis diatasnya yang menjadikan komik dan video merupakan "musuh besar" orang tua dan sekolah. Nyatanya, komik tetap diproduksi hingga kini. Bahkan Indonesia harus mengimpor cerita komik berseri dari Jepang dan Eropa. Tragisnya, komik itu laris manis dengan wajah dan kemasan yang berbeda. Padahal dari segi kualitasnya tidak bisa dijadikan jaminan karena sebagian besar yang beredar di pasaran adalah cerita fiksi. Benarkah kita mengimpor mimpi?
Adalah Beng, sering kali orang menyapanya dengan sebutan itu sekalipun nama lengkapnya Bambang Tri Rahardian. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 29 Mei 1975 itu sejak kecil sudah "terkontaminasi" dengan sebuah kata media exposure oleh komik-komik yang sedang ngetren di jamannya. Bahkan serial wayangnya RA Kosasih habis pula dibabatnya. Mulai dari kisah Wayang Purwa hingga Prabu Udrayana.
RA Kosasih merupakan seorang perintis bagi kehidupan komik di Indonesia. Bahkan dimasa kejayaannya, pada tahun 1955-1960, ia menerbitkan puluhan jilid komik untuk memuaskan pembacanya. Dua pilihan besarnya dalam membuat komik adalah cerita silat dan wayang. Maklum saja, ia orang Sunda yang juga kenal wayang.(Marcell Bonneff: Komik Indonesia, KPG dan Forum Jakarta Paris, Jakarta 1998). Tidak hanya itu. Beng yang tinggal di Jalan Pangampaan Dalam 14 Bandung, Jawa Barat ini juga menggemari komik Jepang seperti Kung Fu Boy, Akira, City Hunter, Gong, dan Master Keaton, serta komik Eropa seperti Asterix, Tintin dan Gaston.
SEMASA Beng kuliah di Institut Seni Indonesia, ia memang sudah aktif dan produktif dalam berbagai kegiatan kesenian, terutama yang berkenaan dengan pameran kartun. Beberapa pameran yang pernah diikutinya antara lain Pameran Kabinet Komik Indie, dan Pameran Kartunisi yang simbolnya embek alias kambing di Vredeburg (1998). Keikutsertaannya dalam pameran pada tahun 1998 ini membawa banyak hal yang bisa membuatnya open mind, bahwa ternyata ide visual terutama seni kartun, tidak hanya berupa gambar tetapi juga seni instalasi. Seperti karya Agus Pissaro yang berjudul "Repotnasi" yang menggunakan media separuh piring nasi yang ditempelkan di cermin.
Beng pandai membuat komik karena pengetahuannya tentang perkembangan komik cukup memadai. Setelah hijrah dari Bandung ke Yogyakarta, Beng mulai membuat komik, waktu itu tahun 1999. Ia lantas membentuk kelompok dengan bendera tehjahe. Dari sini ia mengalami metamorfosis dan mengubah beberapa pandangannya tentang komik yang sempat ia bawa dari Bandung. Awalnya ia mempunyai pikiran bahwa komik adalah cerita bergambar yang bagus, mudah dibawa dan dimengerti.
"Tapi setelah masuk Yogyakarta aku shock banget liat komik yang begitu bebas ekspresinya. Di Yogya, komik nggak lagi perlu penokohan, dramaturgi. Semuanya seolah-olah fine art yang memediakan komik atau tepatnya mengatasnamakan komik. Tiga tahun beradaptasi dengan lingkungan seni disini, aku mulai menerima dan bisa masuk didalamnya. Karena ketakjubanku sama komik gaya begini, aku bikin skripsi yang sebagian besar isinya ngebahas karya mereka sebagai fenomena," jelas Beng panjang lebar.
SKRIPSINYA yang berjudul "Komik Independen Indonesia (Sebuah Kajian Fenomenologi)" akhirnya berhasil membawanya lulus setelah 6 tahun kuliah di ISI. Pada awalnya, judul itu sempat disangsikan oleh dosen pembimbing. Tapi ternyata gerakan komik independen di Indonesia sudah cukup luas sehingga bisa membantu melengkapi data-datanya setelah mengumpulkan komik dari kota-kota lain. Bahkan, akhirnya ia bisa menggelar pameran komik bersama dengan teman-temannya sebelum pendadaran (ujian skripsi). Kecintaannya pada Indonesia, khususnya Yogyakarta, ia ungkapkan dengan kata-kata yang sangat sederhana namun sarat makna, "Yogya eksotik, tempatku bermetamorfosis."
Ayah Beng, Mohammad Irwan Syafe`i, tentu saja tidak akan mengira jika Beng akan beroleh kerja dengan cara yang berbeda, karena cita-cita Beng semula ingin menjadi polisi hutan. Kini, Bambang Rahardian, seorang lulusan Disain Komunikasi Visual ISI angkatan 1995 dan lulus 2001, mulai menjual mimpinya di negara tetangga Malaysia karena ilmunya diperlukan disana. Production House Jutakira Sdn Bhn membutuhkan Beng untuk bekerja di divisi animasi, departemen manual yang kemudian menempatkannya pada posisinya sebagai animator. Production house ini membuat program siaran untuk TV2 Malaysia.
Di Malaysia, ia nyambi kerja untuk mengisi sebuah kolom di majalah komik "Aku dan Sesuatu. Nama kolomnya "Secawan tehjahe" setelah sebelumnya bernama "Komik Indie Indonesia". Di kolom ini Beng bisa berbangga hati karena masih bisa berkarya full tanpa edit, murni ekspresinya dan menggunakan namanya sendiri, Beng Rahardian. Beng ditemani Bagas kini berkarya di kolom "Komik Indie Indonesia". Mereka turut ambil bagian walau sedikit untuk pencerahan scene komik di Malaysia.