Gudeg.net - Hujan es terjadi beberapa kawasan di Sleman pada hari Selasa (29/1). Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Yogyakarta, Sigit Hadi Prakosa, menjelaskan fenomena ini saat jumpa pers di Kantor Bupati Sleman (31/1).
"Pada tanggal 29 Januari kemarin itu awan kumulonimbus terbentuk hingga ketinggian 12 kilometer, berdasarkan pantauan kami, suhu puncak awan mencapai minus 80 derajat dengan kesediaan air tebalnya hingga 9 kilometer, ketebalan es hingga 3 kilometer, menyebabkan hujan lebat disertai es," ungkapnya.
Awan kumulonimbus (Cumulonimbus cloud) berasal dari kata latin cumulus (tumpukan) dan nimbus (hujan/badai) adalah awan dengan kepadatan tinggi dan menumpuk atau dapat menjulang sangat tinggi ke atas. Awan ini diasosiasikan dengan hujan lebat dan badai petir.
Sigit juga menjelaskan ada peran aktivitas Merapi di fenomena hujan es. Peningkatan akumulasi debu vulkanik yang dilepaskan ke atmosfer disebabkan peningkatan aktivitas Merapi berupa guguran lava. Abu vulkanik ini mendukung pembentukan uap air.
"Sleman memang merupakan wilayah rawan bencana hidrometeorologi, bencana yang disebabkan oleh cuaca ekstrem," ungkapnya.
Berdasarkan data historis, bencana yang terjadi di wilayah Sleman sebanyak 81 persen adalah bencana hidrometeorologi seperti angin kencang (pohon tumbang, baliho roboh), hujan lebat (banjir), tanah longsor, sambaran petir, dan hujan es, walaupun sangat jarang.
"Bencana hidrometeorologi di DIY sudah terjadi sejak November hingga saat ini, bulan Januari 2019. Presentasenya semakin meningkat memasuki puncak musim penghujan, yang kami perkirakan bulan Januari ini, dikuru dari curah hujan paling banyak" ungkap Sigit.
Sebab lain dari cuaca ekstrem ungkap Sigit lebih jauh, berkaitan dengan prediksi El-Nino yang terjadi dari Agustus 2018 dengan intensitas lemah. Memasuki bulan Desember hingga Februari, diprediksik intensitasnya akan naik menjadi sedang dan kembali melemah di Maret-Mei 2019.
Suhu permukaan air di Samudera Hindia juga menjadi amatan BMKG, terutama yang terletak di selatan DIY. Diketahui suhu permukaan air laut saat menghangat. Menurut Sigit, kondisi ini memicu pembentukan awan badai lebih cepat.
Kirim Komentar