Sebuah Awal Bagi Tapak-tapak Karya Seni Rupa
PERJALANAN SEORANG SENIMAN BERSAMA KARYA tak bisa lepas dari untaian kata proses dan proses. Penjelajahan ketrampilan menggunakan media berarti peran atau konsep idealisme serta menemui keraguan identitas dan karakter hasil karya sudah menjadi napas seniman. Hal tersebut dialami oleh tiga kriyawan yang masih menempuh studi di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, diantaranya Ign Arya Laksana Eko, Dwi Noorhadi dan Lincah Bekti Eko. Ketiga kriyawan tersebut melakukan pameran karyanya di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta sejak Jumat (9/1) lalu hingga Rabu (14/1) mendatang.
Ketiganya memiliki prinsip yang cukup kuat dalam memahami karya kriya. Karya-karya yang digelar dalam pamerannya mengambil tajuk "Awal Yang Indah", sangat menarik untuk dinikmati lebih dalam. Semua karya yang tersaji memiliki kedalaman `nilai` dan ketiganya belajar untuk konsisten. "Tajuk itu diambil untuk mengawali hidup orang yang berupa langkah-langkah selanjutnya. Sosialisasinya dilakukan dengan kreasi kriya," ucap Dwi yang telah menyiapkan pameran untuk awal tahun.
Walau mundur beberapa hari menunggu Beber Seni VI selesai, namun ketiganya tetap berniat untuk meggelar karya mereka sebagai bentuk apresiasi mengawali tahun 2004. "Kesadaran saya tentang kesadaran yang gak benar, suatu kesalahan berarti ada langkah awal yang baik," tambahnya.
Dengan menyajikan 41 karya dengan media besi, kayu (jati dan pelem), plat aluminium hingga besi serta mix media, ketiga kriyawan yang menamakan dirinya Gagah Berani mempunyai satu pandangan sama khususnya dalam bekerja. "Mulai dari latar belakang sama hingga cat rambut sama mendorong kita untuk menciptakan efek yang sama di mata penikmat hasil kriya," tukas Dwi.
Lincah menambahkan, dukungan kerja-kerja dihasilkan dari hati yang paling dalam memaksa masyarakat untuk menghadapi situasi kondisi yang terus berkembang. "Centre interest-nya pada bidang kami masing-masing dan diaplikasikan dalam beberapa media," tukasnya yang tetap dijalur kriya keramik. Lincah juga menyebutkan dua rekannya seperti Dwi dan Bima masing-masing konsisten pada kriya kayu dan kriya logam.
Yang paling menarik disimak adalah karya Lincah yang memakai bahasa bentuk-bentuk akar dan keleluasaan gerak akar dalam mencari sumber air. Dengan media stone ware yang dibakar dengan suhu tinggi, Lincah melakukan finishing yang memukau. Ia cermat dalam membetuk detail akar dan kemudian diselaraskan dengan nyanyian hatinya sehingga karya-karyanya hidup. Dwi sendiri mengungkapkan media kayu menjadi figure-figur yang ada dalam angan-angannya. Seperti Pesona Semu berwujud topeng-topeng menjadi penyandera eksotika kriya seni.
Bima tertegun mengamati potongan-potongan logam dan serpihan plat yang menurutnya serpihan dan potongan tersebut bagaikan potongan tubuh yang tercerai berai dan belum disatukan menjadi tubuh yang sempurna. Kemudian Bima merenungkan untuk menciptakan rangkaian bentuk (ganteng/ cantik) sehingga logam tersebut bisa tampil ke muka dan bias berbicara sesuai dengan konsep atau pesan-pesan yang kreatif.
Kirim Komentar