Merusak Pakem Pewayangan Dengan "Wayang Dua Sisi"

Oleh : anton / Senin, 00 0000 00:00

SEBUAH PAGELARAN WAYANG KULIT, PAKEM BIASANYA MENGGUNAKAN SEPERANGKAT WAYANG, kelir , gamelan saron, kendang, ketuk, kenong, kempul, rebab, suling dan sebagainya. Dialog dan suluk yang keluar dari mulut sang dalangpun biasanya berupa serat-serat tradisional Jawa seperti Serat Wedatama dan Serat Kalathida. Sementara lakon yang diangkat berkutat pada cerita-cerita klasik pewayangan semisal Mahabarata, Ramayana dan sebagainya. Itulah dunia wayang dari dulu hingga sekarang ini.

Namun pakem yang telah berakar beratus-ratus tahun lamanya itu ternyata "dirusak" oleh Kelompok Lakon. Sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai pelaku kesenian, yakni dari seni rupa dan pertunjukan mengubah pakem itu dengan menciptakan "Wayang Dua Sisi". Dengan pentas yang berbeda dari pakem wayang konvensional pada umumnya, wayang dua sisi mencoba menyuguhkan sebuah lakon yang dimainkan oleh lebih dari seorang dalang. Berbeda dengan wayang konvensional, dalam wayang dua sisi, dialog serta pesan sang dalang disampaikan lewat tarian, gerak tubuh dan mantra-mantra dari para penari.

Dalam pementasan "Karno Lahir" yang diadakan di Bentara Budaya Yogyakarta beberapa waktu lalu dalam rangkaian Pameran Keramik "Sawiji" yang ditutup tadi malam (21/2) misalnya, empat orang laki-laki dengan pakaian hitam menari-nari dengan berbagai gesture untuk menyampaikan cerita dan dialog antara Batara Surya, Kunthi dan Karno dari sang dalang. Kadang secara terpisah, masing-masing meliukkan badan mereka di depan kelir. Di waktu lain mereka bergulung-gulung bersama di kelir tersebut.

Sementara sebagai ganti gamelan dipakailah bunyi-bunyian gergaji yang digesek laiknya sebuah celo. Tidak itu saja, dua orang penari lain menghentak-hentakkan geber untuk menimbulkan efek-efek khusus. Lampu blencong yang menjadi ciri khas pementasan wayang kulit pun tak ketinggalan diganti dengan lampu sorot biasa untuk memunculkan efek lampu yang berbeda.

Menurut salah satu anggota Kelompok Lakon, Rifqi Sukma yang ditemui GudegNet, pementasan wayang dalam bentuk yang baru tersebut terjadi karena adanya sebuah keinginan dari para pelaku kesenian yang berbeda disiplin ilmunya dalam mengembangkan pentas wayang kulit konvensional lewat seni rupa dan seni pertunjukan yang tanpa dibatasi media ekspresi apapun, termasuk pakem yang sudah ditetapkan. " Kami mencoba bersinergi untuk menggali seni wayang dari sisi seni rupa dan seni pertunjukan, dan hasilnya adalah wayang dua sisi ini," jelasnya.

Perubahan-perubahan yang mereka lakukan, menurut mahasiswa ISI Yogyakarta ini bukannya sebuah perusakan pakem seperti yang diperkirakan oleh beberapa pecinta seni yang menonton pentas tersebut, tetapi memang benar-benar sebuah pengembangan seni wayang semata agar apresiasi masyarakat pecinta seni akan semakin baik di kemudian hari.

Jadi benar adanya ungkapan budayawan Sindhunata, "Apa gunanya pakem kalau ia lalu menjadi tradisi mati !". Mungkin saja dengan perusakan wayang dua sisi menjadikan tradisi wayang akan tetap terus hidup dan berkembang. Siapa tahu!

0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    UNISI 104,5 FM

    UNISI 104,5 FM

    Unisi 104,5 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini