Mengembangkan Potensi Pariwisata Kota Yogyakarta
MENCIPTAKAN DAYA WISATA YOGYAKARTA LEWAT POTENSI PASAR BERINGHARJO dapat diwujud-nyatakan melalui penambahan lama durasi akses masuk dan transaksi ke pasar tradisional tersebut, seperti pasar Bugis di Singapura. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, Steve Bambang Indarto mengungkapkannya di hadapan seniman, pemilik hotel, dan staff pemerintahan kota. Pasar Beringharjo jika digarap secara optimal dan dibuka hingga tengah malam bisa dijadikan salah satu obyek wisata yang menarik di Yogyakarta. Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, Achmad Charris Zubair juga menambahkan, sesuatu yang mungkin bisa menjadi potensi berasal dari dua bidang, yaitu pariwisata dan pendidikan.
Steve juga menyebutkan lima hal yang perlu diperhatikan untuk pengembangan pariwisata tahun 2005, yaitu produk, pengemasan, pemeliharaan, pengembangan dan pemasaran. "Nah, sekarang Jogja sudah punya semuanya cuma satu ya obyek wisata belum dikomunikasikan, dikoordinasikan, dikolaborasikan dan disinergikan menjadi satu," imbuhnya. Ia mengambil contoh Malioboro yang sering mendapatkan cacian karena banyaknya kekurangan. "Untuk museum sendiri, jangan jadi museum yang mati tapi dihidupkan lagi. Jangan hanya pameran benda mati saja tapi setiap orang masuk sana langsung tahu sebetulnya itu museum apa, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang ada dengan semacam model narasi atau film sebagai pengantar. Syukur lagi ada tempat bermain anak sehingga rasanya sebagai tempat rekreasi keluarga," ucapnya.
Menyinggung Beringharjo lagi, Steve berpendapat perlu polesan sedikit lagi. "Sekarang bukanya sampai jam empat sore, bisa gak buka 24 jam. Seperti di Pasar Bugis yang aman, nyaman dan tentram hingga enak serta bisa mencari apa saja. Rasa-rasanya kita semuanya punya tapi kemasannya yang kurang menarik saja," terangnya kepada wartawan Selasa (24/2) siang di sela "Semiloka Pengembangan Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta" di Hotel Saphir Yogyakarta. Pemasarannya untuk Kota Yogyakarta sudah tidak perlu diragukan lagi namun pemeliharaannya masih perlu mendapatkan perhatian khusus.
Kendala terbesar yang sering dihadapi dalam pengembangan pariwisata di Yogyakarta lebih pada faktor komunikasi dan koordinasi yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. "Saya pikir tidak bisa begitu, pariwisata itu lintas sektoral dan tidak terkotak-kotak. Obyeknya Dinas Pariwisata itu ya Kota Yogyakarta," ungkapnya.
Yogyakarta pada dasarnya mengemban beban yang berat untuk mempertahankan citra pariwisata DIY. "Jika bicara tentang DIY maka yang dituju tentunya Yogyakarta saja, misalnya angkutan semrawut itu bukan punya Dinas Pariwisata tapi Dinas Perhubungan sehingga membuat masyarakat yang sadar wisata akan sulit sekali," tambahnya. Bagi Steve, pengembangan wisata jangan hanya diserahkan dan dibebankan pada satu pihak namun perlu dilihat sebagai kepunyaan bagi warga Yogyakarta.
Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Yogyakarta, FX Kaswanto mengemukakan bahwa pihaknya butuh dukungan moral yang hanya berasal dari teman-teman Komunitas Malioboro tapi masyarakat luas agar Malioboro dan tempat wisata yang lain dapat menjadi aset yang berharga di Yogyakarta. "Yang membuat wisatawan mampu bertahan lama di Yogyakarta karena yang ditawarkan seperti kursus membatik, menari hingga latihan bahasa daerah," tuturnya. Sedangkan kawasan wisata yang akan dikembangkan dan dapat menjadi daya tarik seperti Code, Kotagede, Keraton Yogyakarta dan Kawasan Kotabaru.
Kirim Komentar