CineLIP : "La Couleur du Paradise" tentang Cinta dan Keindahan
LA COULEUR DU PARADISE mendapatkan penghargaan tertinggi dan penghargaan audience dalam Festival Film Laga dan Petualangan Valenciennees 2000, dengan kekuatan alur cerita yang menarik dan keindahan alam sebagai latar belakangnya. Lembaga Indonesia Perancis, jalan Sagan No 3 Yogyakarta, melalui pemutaran film mingguannya, CineLIP, kali ini mempertontonkan film karya Majid Majidi, sutradara film "Baran" yang juga diputar di LIP 3 minggu yang lalu. Sayang, memang harus diakui bahwa apresiasi penonton di Yogyakarta terhadap film-film yang berasal dari negara dunia ketiga tidak begitu mendapatkan perhatian.
Mohammad yang diperankan oleh Mohsen Ramezani adalah seorang tuna netra bahkan juga dikehidupan yang nyata. Ia berusia delapan tahun yang sangat dicintai oleh orang-orang yang ada di dekatnya. Demikian juga ia sangat mencintai neneknya, juga saudaranya Hanief dan Bahareh. Hanya saja disayangkan ternyata sang ayah menolak kehadirannya secara frontal. Bukan saja dibuktikan mengantarkan Mohammad ke rumah neneknya tapi juga tidak diperbolehkannya Mohammad bersekolah. Padahal kemampuan membacanya bahkan lebih baik daripada anak-anak seusianya yang tidak mengalami kendala penglihatan.
Film yang dibuat tahun 2001 ini bersetting di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota Irak, Teheran. Indahnya bunga-bunga bermekaran, jernihnya air, hijaunya dedaunan sekaligus bunyi burung-burungpun turut menjadi kekayaan film ini yang nyaris tanpa ilustrasi musik. Mungkin justru di sinilah kekuatan dan juga kesulitan yang ditemui dalam membuat film ini. Membuat bunyi alam, nyaringnya bunyi burung, hujan dan ombak di laut terdengar indah dan pas di telinga penonton.
Arti kehadiran seseorang baru akan terasa setelah kita kehilangan. Demikain pula halnya yang terjadi pada ayah Mohammad. Setelah usahanya memindahkan Mohammad, kemudian menyerahkannya pada Ali Fatemi, si Tukang Kayu, ayahnya pun mengajaknya pulang. Ajakan pulang ini pun karena sudah beberapa waktu neneknya meninggal karena kesedihan yang mendalam ditinggalkan Mohammad.
Di tengah jalan hujan deras, Mohammad yang menunggang kuda dan menyeberangi sungai dengan jembatan terhalang musibah. Jembatan runtuh, dalam satu waktu ayahnya kehilangan kuda dan juga Mohammad. Setelah berjuang beberapa waktu dan akhirnya mendapatkan kembali Mohammad dalam keadaan tidak menentu, ayahnya baru sadar betapa ia mencintai putra satu-satunya itu.
Majid Majidi memang layak diakui kehebatannya dalam memainkan emosi penonton, dengan klimaks yang sengaja dipanjang-panjangkan, ternyata hanya diselesaikannya dengan klimaks cerita akhirnya Mohammad menunjukan tanda-tanda kehidupan dirinya setelah hanyut terbawa arus air. Durasi film ini tidak lebih dari 90 menit, dengan versi bahasa original dan teks bahasa Perancis, tentunya juga bisa membuat banyak interpretasi yang berlainan karena keterbatasan kemampuan berbahasa dan perbedaan budaya.
Kirim Komentar