Selamatkan Yogyakarta Dengan Program Langit Biru
PERINGATAN HARI BUMI - 22 APRIL TELAH MENGINGATKAN KITA KEMBALI PADA RUSAKNYA YOGYAKARTA karena polusi udara seiring dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di wilayah perkotaan Yogyakarta. Penelitian Komite Pengapusan Bensin Bertimbal di beberapa kota seperti Batam, Denpasar, Jabotabek, Surabaya, Makasar, Semarang, Yogyakarta, Bandung dan Palembang, menunjukkan bahwa Yogyakarta merupakan kota dengan standar timbal dalam bensin premium paling tinggi setelah Makassar, yakni 0,224 gr/l. Artinya pencemaran udara yang berasal dari emisi kendaraan bermotor di kota ini berada di level yang sangat mengkhawatirkan.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak dapat dilihat sebagai tindakan masyarakat yang tidak memperhatikan kondisi udara dan polusi udara. Pada tahun 2002 lalu, terdapat 705.559 kendaraan bermotor memenuhi kota ini, meningkat hampir 10% dari tahun sebelumnya. Ditambah lagi kendaraan yang berasal dari luar daerah yang tidak terdeteksi jumlahnya. Sementara perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan manajemen pengelolaan angkutan umum, kondisi jalan, pembangunan kawasan hijau dan kebijakan transportasi lainnya. Dapat dibayangkan betapa kotor dan menurunnya kualitas udara di kota Gudeg ini.
Pemerintah sejak tahun 1996 lalu, sudah melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui Program Langit Biru (Prolabir) berdasar SK Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-15/MENLH/4/1996. Program yang menangani tingkat pencemaran udara di Indonesia, baik pengendalian sumber pencemar bergerak (kendaraan bermotor) maupun tidak bergerak (industri/pabrik), penataan lingkungan hidup serta aktivitas yang bersifat pencegahan pencemaran, penanggulangan hingga pemulihan tersebut, sayangnya tidak dilaksanakan kota ini. Alasan pada waktu itu adalah Yogyakarta tidak termasuk daerah yang diwajibkan merealisasikan program tersebut karena tingkat pencemarannya masih rendah.
Namun seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor, ternyata tingkat pencemaran udara telah meningkat karena emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor serta polusi dari industri dan pabrik. Keadaan tersebut akhirnya memaksa pemerintah mulai merealisasikan Prolabir per 31 Desember 2003. Sosialisasinya sendiri salah satunya diadakan lewat diskusi kajian umum "Program Langit Biru" di BAPEDALDA DIY siang ini (21/4) yang bekerja sama dengan Sekretariat Bersama Perhimpunan Pecinta Alam (SEKBER PPA) DIY, bersamaan dengan peringatan Hari Bumi 22 April.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) DIY, Nanang Ismuhartoyomengemukakan bahwa sosialisasi program tersebut masih kurang dan beberapa hal perlu dikritisi, misalnya penggantian rencana pemanfaatan bahan bakar gas yang masih sulit realisasinya dengan bahan bakar bensin bebas timbal yang lebih mungkin diterapkan. Rencana revisi PERDA Propinsi DIY No. 10 tahun 2001 yang konteksnya merubah pasal-pasal yang berkaitan dengan usia kendaraan untuk menjadi lebih lama serta kesepakatan Gubernur dengan Bupati/Walikota mengenai pembangunan dan pengelolaan transportasi publik (angkutan umum) sepertinya harus ditinjau kembali. Begitu pula dengan beberapa proyek pembangunan yang sama sekali tidak memiliki visi lingkungan sehingga menyebabkan peningkatan beban jalan dan menimbulkan kemacetan lalu lintas yang akhirnya meningkatkan konsentari polusi udara serta adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di instansi-instansi pengujian kendaraan bermotor.
Ditambahkan Dr. Danang Parikesit dari Centre for Transportation and Logistic Studies, program ramah lingkungan yang diharapkan dapat mengurangi unsur karbondioksida dan asap hitam yang dihasilkan kendaraan bermotor harus mengikuti langkah-langkah seperti adanya penyusunan kembali manajemen angkutan umum yang lebih baik, penyediaan mesin yang lebih bersih, pengadaan bahan bakar alternatif, strategi penggunaan kendaraan lain dan sebagainya, untuk mengurasi emisi polusi udara dan lingkungan.
Kirim Komentar