Berkurangnya Nilai Tradisi dan Hikmad Garebeg Maulud Nabi tahun 2004
UPACARA PERAYAAN GAREBEG MAULUD YANG MENJADI PUNCAK PERAYAAN HARI KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW terasa kurang "greget"-nya dan menjadi tidak se-hikmad tahun-tahun sebelumnya. Upacara yang masih dilestarikan Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat tersebut dilaksanakan pada Minggu (2/5) pagi dengan mengerahkan pasukan pengarak sebanyak dua kesatuan dari delapan pasukan prajurit yang dimiliki Kraton, yaitu prajurit Kraton Bugis dan Nyutro.
Karena kerumunan massa di sepanjang jalan, ruang untuk parade kesatuan prajurit tersebut menjadi sempit dan harus menggunakan mobil sirine untuk membelah massa yang menghalangi pasukan kraton dan gunungan agar dapat sampai ke Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Parade keluar dari mulut Kraton sebelah utara berjalan ke arah dua pohon beringin yang berada di tengah-tengah Alun-Alun Utara dan berbelok ke arah barat menuju Masjid Kauman. Antisipasi Jogja Expo Sekaten (JES) 2004 tampaknya tidak memberikan akses yang cukup untuk memperlancar prosesi Garebeg Maulud tersebut. Selain keterbatasan jalan yang sempit, juga terjadi konsentrasi massa pada waktu yang bersamaan baik yang datang ke JES maupun hanya sekedar melihat prosesi.
Di depan Masjid Kauman, sejak pukul 07.00 WIB, masyarakat baik dari daerah sekitar maupun dari luar kota yang sudah menginap semalam sebelumnya tampak berjejal untuk memperebutkan hasil bumi yang menempel rapi di tiap gunungan tersebut. Baru pukul 10.03 WIB, arak-arakan terlihat keluar dari mulut gerbang JES sebelah barat yang kemudian melntasi jalan raya yang memisahkan arena sekaten dengan Masjid Kauman. Hingga saat itu, masyarakat memang belum diperkenankan untuk memperebutkan kelima gunungan sebab akan melalui proses pemberkatan dahulu yang dilakukan oleh penghulu masjid.
Jika pada tahun-tahun sebelumnya, perebutan gunungan dilakukan di luar area masjid bahkan di tengah-tengah Alun-Alun Utara, tahun ini nampak berbeda. Perbedaan itu terlihat pada waktu selesai dilakukan pemberkatan oleh penghulu dan belum sempat dikeluarkan dari masjid untuk diperebutkan oleh masyarakat, orang-orang yang sudah menunggu sejak lama untuk "ngarayah" hasil bumi tersebut tanpa dikomando sudah mulai berbebutan. Otomatis, masyarakat yang masih tertahan di luar karena gerbang masjid ditutup, nekad melompat pagar masjid dan ikut rayahan yang terjadi di tengah halaman masjid.
Gunungan hanya terdiri atas dua, yaitu Gunungan Lanang dan Gunungan Wadhon yang diikuti oleh tiga buah rangkaian gunungan yang lebih kecil yang ikut diberkati. Lamanya prosesi dari Kraton menuju Masjid Kauman yang membutuhkan beberapa agar prosesinya berjalan hingga usai tidak sebanding dengan cepatnya waktu yang dilakukan oleh masyarakat melakukan rebutan massal hasil bumi di gunungan tersebut.
Kepercayaan akan berkah dari hasil bumi dari prosesi gunungan yang terjadi setahun tiga kali tersebut masih erat melekat di sanubari masyarakat Yogyakarta yang mendapatkannya. Sehingga acara rayahan massal semacam itu tidak dapat dihindari dan sudah menjadi salah satu rangkaian prosesi gunungan itu sendiri. Untuk Garebeg, terjadi dalam tiga waktu dalam setahun, yaitu Garebeg Maulud (peringatan Maulud Nabi Muhammad saw), Garebeg Ageng (Idul Adha) dan Garebeg Sawal (Idul Fitri).
Pelaksanaan Garebeg Sawal sendiri memang tidak sebesar Garebeg Ageng, namun kelengkapan pelaksanaan upacara tetap sama dan dalam kaitan ini banyak pula kegiatan tradisional yang diselenggarakan di Keraton Yogyakarta. Upacara Garebeg itu sendiri berupa keluarnya Gunungan (Hajad Dalem Pareden) yang berisi berbagai jenis sayuran dan makanan khusus yang ditata hingga menyerupai gunung. Makanan khas dan khusus yang ada dalam Gunungan itu sendiri antara lain tlapukan, upil-upil, betetan, rengginang, ole-ole, eblek dan sampil yang keseluruhannya terbuat dari ketan.
Kirim Komentar