Gramophone Yang Mengalun Mampu Memberi Kenangan dan Kebanggaan Bagi Pemiliknya
Dalam mengoperasikan sebuah gramophone, orang harus melalui beberapa tahap. Mulai dari mengengkol dalam jumlah hitungan tertentu, memasang piringan hitam (PH-red) dan menempatkan jarum di PH kemudian barulah terdengar liukan lagu-lagu nostalgia dan penyanyi tenar jaman dulu. Satu lagu selesai, harus mengulangi engkolan dan memasang PH serta menempatkan jarum kembali. Kegiatan tersebut akan berlangsung jika pemilik gramophone hendak mendengarkan lagu bermacam-macam.
Tidak sepraktis perangkat elektronik jaman modern yang serba praktis, tinggal tekan sana-sini sudah terdengar lagu dengan suara jernih, merdu dan nikmat. Tetapi bukan hal tersebut masalahnya, karena dengan ketidakpraktisan tersebut menjadi incaran dan kenikmatan yang dicari oleh para kolektor barang antik. Mereka bisa menikmati, pikiran melayang, menerawang ke jaman beberapa tahun kebelakang sesui dengan jaman PH yang diputar. Selain itu, untuk memiliki benda tersebut, saat ini bagaikan mimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Kenapa tidak? Karena saat itu yang bisa dan mampu memiliki sebuah gramophone hanyalah kaum Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.
Imam Mulyono komandan peserta antik kepada GudegNet mengungkapkan bahwa memiliki gramophone seperti memelihara burung perkutut. "Semakin lama mendengar suara gramophone yang meliuk-liuk dan kadang diselingi derak mesin itu seperti mendengar burung kutut," tukasnya. Memiliki gramophone tentunya memberikan nilai tersendiri bila pemiliknya adalah tokoh masyarakat, orang terkenal atau raja pada jamannya. "Saat ini saya memiliki beberapa gramophone dan salah satunya pernah dimiliki oleh raja yang pernah memimpin Yogyakarta dan wafat tahun 1939. Saat ini saya sangat bangga memiliki benda ini karena dulunya kagungan ndalem Ingkang Sinuwun HB VII," lanjutnya.
Lain halnya dengan Iwan Ganjar Indrawan yang lahir 18 September 1967 sangat mencintai dunia antik secara berlebihan. Tidak salah jika pemuda yang satu ini pantas disebut sebagai `dokter gigi` gramophone bagi para pemilik gramophone yang masih bertahan. Padahal jika dilihat dari background pengetahuan yang dimilikinya, ia merupakan lulusan sosiologi UGM, salah satu fakultas yang tidak ada hubungannya dengan benda antik.
Tidak jauh berbeda dengan Endro Nugroho yang sehari-hari sebagai karyawan Desain Grafis tetap dikenal sebagai pemburu gramophone dan radio tabung yang sudah punya nama. Sejak 1970, Endro sudah melakukan hunting benda-benda antik seperti radio tabung, mebel maupun pernik-pernik kuno. Untuk perburuan gramophone, baru diawalinya pada tahun 1987 yang lalu.
Endro yang saat ini mengoleksi ratusan PH yang terdiri dari lagu klasik, pop keroncong hingga gendhing-gendhing Jawa rekaman asli Kraton Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta masih dalam keadaan `bunyi` dan `sehat`. "Mengoleksi benda antik seperti gramophone, radio, mebel serta pernik kuno tidak akan rugi karena semakin tua umur benda tersebut akan semakin mahal nilai dan harganya," terangnya. Menurut penanggung jawab pameran Imam dan Godod Sutejo, pertemuan antara peserta pameran, lukisan dan antik akan dibuka resmi oleh GBPH Prabukusumo yang ditandai dengan mengengkol gramophone dan penandatangan prasasti di Hotel Bandara Asri Jln Kenangan 3A Yogyakarta Kamis (27/5) siang.
Baik Imam maupun Godod tetap menjadi penanggung jawab dalam pagelaran karya benda antok dan karya lukis yang akan dipamerkan di Hotel Pondok Tingal Borobudur Magelang mulai Senin (31/5) hingga Minggu (6/6) mendatang dalam rangka memeriahkan Hari Waisak 2004 yang dipusatkan pada Candi Mendut. Pecinta benda antik yang akan tampil diantaranya Imam Mulyono, Endro Nugroho, Iwan Ganjar Indrawan, M Fauzi, H Ma`ruf. Untuk para pelukisnya dimulai dari Godod Sutejo, Ari Sugiarto, Ariyadi, Dewobroto, Atin Pekok, B Suparto, Joko Sarjono hingga Rujiman.
Kirim Komentar