DUSUN NITIPRAYAN MEMBALIKKAN KONSEP FESTIVAL KESENIAN YOGYAKARTA XVI 2004 (FKY) yang dari tahun ke tahun hanya membuat masyarakat datang berbondong-bondong ke rangkaian kegiatan FKY jika ingin menyaksikan acara yang diselenggarakan. Dengan mengusung tema "Among Seni Nitiprayan" pada hari Selasa (20/07) selama pk 15.00-23.00 WIB, gelaran seni tersebut mampu mengusung FKY XVI 2004 ke tengah masyarakat dengan berbagai atraksi, baik yang datang dari warga masyarakat, seniman Yogyakarta maupun dari luar kota.
Sungguh meriah pementasan seni budaya selama lebih dari 6 jam tersebut. Sebutlah Tari Jathilan Anak Nitiprayan, Karawitan Ibu-Ibu Nitiprayan, Tari Dolanan Anak Nitiprayan dengan mengangkat cerita "Kancil Nyolong Timun", Gilak Gong, Jimbe Merdeka, Golden Water (Solo), Cong-Ronk Pemuda Nitiprayan, Sanggar Sahita (Solo), Tari kontemporer karya Sutopo Tedjobaskoro hingga kolaborasi antara Elly D Luthan dengan Widodo Kusnantyo.

Kilatan blits kamera para fotografer terus menderu seolah tak mau kalah dengan penonton yang terpaku untuk tidak beranjak, bahkan semakin menyemut. Gerakan yang serasi tanpa sadar tersebut terus berlanjut hingga mendekati adzan Maghrib berkumandang. Matahari yang semakin bergerak ke arah barat, membuat para pemuda dusun tanggap untuk menyalakan obor sepanjang jalan yang digunakan untuk melakukan atraksi sebagai penerang jalan sekaligus pemanis even tersebut. Lampu penjor sebagai lighting untuk tata panggung yang berada di tengah sawah dan kolam ikan semakin menambah manis acara yang dikemas secara apik.
Guyonan dan obrolan rakyat sangat terasa di Nitiprayan saat penonton menunggu penampilan berikutnya dari satu sesi ke sesi yang lain. Melewati pk. 20.00 WIB, semua kegiatan beralih ke tengah sawah dan kolam sebagai panggung lain. Tata lampu yang disangga dengan bambu ala kadarnya serta obor bambu ala kampung setia menyala hingga acara usai dilaksanakan.
Membandingkan keramaian yang dimiliki oleh pasar malam memang tidak ada bedanya, namun yang ada dalam acara tersebut berbeda jauh, kualitas seni-budaya dan suasana guyub terasa kental menyentuh kulit penonton. Masyarakat pun sempat terperangah dengan Tari Kontemporer yang ditampilkan oleh Sutopo dan rekan-rekan yang selama ini masyarakat pedesaan jarang melihatnya. Masih ada pandangan bahwa menari itu harus ikut pakem yang dimiliki, kali berbeda dan mengundang kagum dan rasa ingin tahu masyarakat terus meningkat ketika semua terhening memandang gerakan tari tersebut hingga usai.
Keguyuban dan keakraban yang terlihat tersebut semakin memperkuat pandangan bahwa masyarakat pun mampu untuk membuat yang tidak kalah hebohnya dengan acara-acara yang diselenggarakan di gedung atau tempat pertunjukan pada umunya. Dengan peralatan seadanya serta jerih payah yang terus mengalir, nampak semuanya dapat dikerjakan dengan baik.
Fotografer: Valens Riyadi
Kirim Komentar