Film Dokumenter FFPY Belum Layak Tonton
PENJURIAN FESTIVAL FILM PELAJAR YOGYAKARTA (FFPY) yang dimotori oleh Yayasan GAIA di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Jumat (23/07) pagi, akhirnya hanya diramaikan dengan 4 buah film dokumenter karya pelajar. Awalnya tercatat tujuh buah film, namun tiga film urung diteruskan ke proses penjurian karena menurut peserta tiga film tersebut, proses editing belum selesai. A Iwan K Ketua FPPY kepada GudegNet, juga menambahkan bahwa ketiga kelompok tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan walau tidak dapat ikut dalam FFPY 2004.
Keempat film yang masuk nominasi antara lain "Asa Yang Terkuburkan" (Kedai Creative Production), "Di Balik Topeng Kota Pelajar" (Paks Stembayo), "NgGo Bonar" (Onthel`05) dan "Tubuh Kendali Hidup" (Sinescoolholic). Setiap film dokumenter maksimal berdurasi 15 menit dan para peserta rata-rata menampilkan karya mereka selama 12-14 menit.
Tiga juri dalam FPPY tersebut seperti Heru Kesowo `Pak Bina` (Praktisi Perfilman), Bambang Paningron (Ketua FKY XVI-2004) dan Budi Satriawan (Etnoreflika). Heru mengungkapkan rasa bangganya kepada para pelajar yang menyertakan karyanya dalam FPPY sebab mampu bersikap kritis, cukup peka dan tajam dalam memilih tema serta gagasan untuk diangkat menjadi sebuah film dokumenter. "Cuma mungkin untuk layak ditonton itu yang masih perlu dikembangkan. Kalau ditonton lho ya," ungkapnya dengan gaya bicara yang khas dalam sinetron Mbangun Deso.
"FFPY menjadi langkah awal, sebagai pendorong dan motivator. Nah, untuk layak tonton tadi penonton itu juga kritis, nggak bisa dong kita dikte dan gurui. Kalau penonton itu kritis maka film itu juga harus bisa mengundang sikap kritis. Jika sikap kritis itu ada dan penonton juga kritis kan jadi adil, bahwa tontonan itu bagus dan bisa mengundang sikap kritis," tukasnya. Menurut Heru, ada juga film yang aktual dan mengundang pertanyaan kelanjutan dari dokumentasi tersebut misalnya "Tubuh Kendali Hidup" yang mengangkat pursing art worker dari pekerjaannya hingga kehidupan sehari-harinya dalam lingkup Kraton Ngayogyakarta.
Menyinggung problematika masyarakat tidak sekolah, pria bertubuh gempal yang akrab disebut sebagai "Pak Bina" ini berpendapat bahwa bukan anjal dan orang miskin saja namun memang banyak orang yang tidak mendapatkan pendidikan formal. Pak Bina menambahkan, misi mendidik tidak harus lembaga formal dan dapat berasal dari pengalaman sehari-hari. "Cuman orang atau masyarakat masih menganggap masyarakat tidak sekolah adalah masyarakat yang tidak kejatahan pendidikan formal," tegasnya.
Kirim Komentar