Komentari Pengkotakan Malioboro dalam "Raut Muka"
KEBERAGAMAN NAFAS MALIOBORO SEBAGAI WAJAH KOTA GUDEG adalah sebuah kontradiktif. Berbagai aktivitas ekonomi, sosial, seni, budaya hingga politik yang nyata-nyata terjadi di kawasan yang panjangnya tak lebih dari tiga kilometer tersebut menghadirkan sebuah pengkotakan dan kesenjangan atas eksistensi diri tiap manusia yang bernafas di sana. Ada si kaya pemilik toko serba ada, banyak pula penjual rokok gendongan yang miskin. Banyak noni-noni cilik terlihat dalam asuhan baby sitter yang super protektif, tak sedikit pula anak-anak jalanan kecil yang mengais rejeki sendirian tanpa pengawasan siapapun. Malioboro adalah surga atau neraka bagi mereka yang setiap hari bergantung di sana.
Dalam hal berkesenian misalnya, pengkotakan tersebut dirasakan oleh Sindu Cutter dari Kelompok Seni Raut Muka Malioboro yang menggelar pameran lukisan "Raut Muka" di KOA Kafe, Jl. Dewi Sartika18 Sagan selama enam hari (9-14/10) adalah dalam bentuk label seniman. "Di Malioboro, terjadi sebuah kenaifan karena adanya pengkotak-kotakan jenis seniman seperti seniman kampus, otodidak dan seniman order," papar Sindu yang ditemui GudegNet di sela-sela pameran yang sedang berlangsung. Padahal dalam dunia seni rupa, menurut Sindu tak ada pembedaan strata manapun.
Karena itulah, Sindu bersama dengan Wira dan Sripram yang tegabung dalam komunitas tersebut mencoba mengomentari permasalahan tersebut dengan mengusung 30 karya mereka dalam gelar karya mereka. "Menjadi sebuah pemikiran bagi kami sebagai boleh dikatakan salah satu seniman Malioboro untuk dapat mengomentari atau mengkritisi berbagai persoalan yang terjadi di wilayah kerja kami, termasuk permasalahan berkesenian di Malioboro," papar Sindu.
Terlihat dari karya-karya yang ditampilkan, pengkotakan dalam arti sebenarnya atau secara harafiah coba digambarkan ketiga perupa yang mengaku masih sangat hijau tersebut, bahkan dalam pemahaman mereka di luar ranah seni rupa. Sebut saja Sindu lewat lukisan-lukisannya yang berkonsep kotak-kotak mengomentari siklus kehidupan manusia yang seharusnya merupakan sebuah kesatuan namun oleh dirinya sendiri justru dikotak-kotakkan pada siklus pagi, siang dan malam.
Sementara Wira lewat "Lesamis" dan "Ngeles" serta dan Sripram dengan "Journey 2" mencoba mengomentari pengkotakan tersebut dengan gaya lukisan di luar konteks yang sering dihadirkan oleh pelukis Malioboro yang lebih sering melukis wajah secara realis, semisal dengan gaya abstrak figuratif dan. Bukannya ingin menjadi bagian di luar pelukis wajah, kedua pelukis muda tersebut ingin menyatakan bahwa melukis itu tak perlu pengkotakkan aliran dan gaya.
Kirim Komentar