(Kuratorial) Output Seniman untuk Masyarakat sebagai Kerja Sosial
KERJA KURATORIAL MEMPUNYAI KEKHASAN PERSPEKTIF. Misalnya kerja kuratorial mengenai pentingnya peran kurator pada sebuah pameran dan cerita Sujud Dartanto yang melirik Australia sebagai tempat belajarnya menekuni profesi sebagai kurator. Lain lagi dengan Kuss Indarto yang mempunyai kekhasan dalam proses kerja kuratorial dalam pengalaman dan opininya kepada GudegNet.
Menurut alumni ISI angkatan 1989 ini, kerja kuratorial adalah kerja pembentukan ide besar sebuah pameran. Yang utama adalah membentuk intellectual framework. Hal inilah yang akan menemukan titik beda atau pilahan-pilahan yang membingkai karya-karya itu. Mengaku tak sengaja masuk ke dalam dunia kuratorial, Kuss Indarto mengawali karirnya dari menulis kritik senirupa di katalog ataupun surat kabar. Ia kemudian mengadopsi kecenderungan seni rupa di Barat bahwa kerja kuratorial itu bukan kerja seorang EO (event organizer) semata.
Honor sebagai kurator di Indonesia masih memprihatinkan katanya. Proses awalnya, kurator membuat proposal pameran pada galeri. Kemudian kurator membuat kontrak dengan galeri dan mengajukan rancangan budget yang diperlukan untuk kepentingan pameran itu. Di dalam kontrak itulah fee kurator juga sudah tertera.
Kini, managerial sebuah pameran telah lebih profesional dengan tidak lagi memposisikan kurator sebagai tukang urus katalog, penulis kata pengantar di katalog ataupun tukang angkut karya. Ada bagiannya sendiri-sendiri sehingga memudahkan kurator untuk fokus pada gagasan awal, tawar menawar seniman siapa saja yang akan diundang berpameran. Seringkali galeri-galeri lebih cenderung mempertimbangkan profit oriented dan telah menunjuk seniman-seniman yang sekiranya laku padahal tidak sesuai dengan gagasan pameran.
Kuss mengaku agak egosentrik juga ketika megundang seniman pada even yang ia kuratori. Ia tak melihat apakah seorang seniman laris atau tidak tetapi ia lebih memilih pada seniman yang mempunyai output di masyarakat. Saat ini ia aktif sebagai kurator tak hanya di lingkup Yogyakarta tetapi juga ke kota tetangga. Di Semarang, Kuss saat ini sedang mengadakan proyek dengan komunitas Khayangan. Ia menyebut bahwa independent curator tak selalu komersil. Bahkan komunitas yang akan menggelar pameran pada pertengahan bulan ini adalah komunitas yang dinilai berbeda dan jauh dari pasar.
Umumnya pelukis kota Semarang melukis dengan gaya realis dan sering analogikan sebagai pelukis mangga, pisang, jambu atau yang cocok dipajang di ruang tamu. Tetapi komunitas yang idealis dan meninggalkan unsur keindahan itu justru dilirik oleh Kuss. Tak seperti di Yogyakarta yang telah melewati masa itu bertahun-bertahun lalu, di Semarang menabrak konvensi-konvensi dalam berkesenian itu cukup mempunyai anomali.
Karakteristik kuratorial yang ia pilih ternyata mengangkat hal-hal sederhana dan anomalis (berbeda). Beberapa proyek yang telah ia kuratori adalah Pameran Seni Rupa FKY "Barcode", Pameran Seni Rupa "Treshold" dan Project "Di Sini Akan Dibangun Sebuah Mall" kerjasama dengan Kerupuk (Kelompok Peduli Ruang Publik). Ditemui GudegNet di Gedung Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Kuss berharap pada dunia kesenian dan mendukung seniman untuk menghasilkan karya-karya karena sebetulnya seniman adalah seorang intelektual. Seniman bukanlah pekerjaan yag naluriah tetapi menutut kepekaan sosial sehingga karya seninya adalah karya sosial dan merupakan produk sosial.
Kirim Komentar