Gudeg.net- Do We Live in The Same Playground? Itulah tema yang diusung oleh perhelatan akbar seni rupa Biennale Jogja XV Equator #5 2019 di Jogja National Museum (JNM), Minggu (20/10).
Berbeda dengan tahun sebelumnya, gelaran Bienale Jogja XV Equator tahun ini diselenggrakan di tiga lokasi yang berbeda yaitu Jogja National Museum (JNM), Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Kampung Pecinan Ketandan dan PKKH UGM.
Bienale Jogja XV Equator #5 2019 yang dihelat hingga 30 November 2019 ini menampilkan hasil karya dari 52 seniman yang berasal dari Indonesia dan sejumlah negara didunia seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Laos, Singapura, Hong Kong, Myanmar, Taiwan, Filipina, Timor Leste, dan Kamboja.
Direktur Yayasan Biennale Alia Swastika mengatakan, perhelatan Bienale Jogja Equator #5 2019 kali ini cukup banyak negara yang kami undang.
“Disini, di ekshibisi Bienale Jogja ini kita berkumpul bersama, para seniman dari sejumlah negara ini bisa saling bertukar informasi tentang perkembangan seni dunia,” ujarnya.
Alia menjelaskan, ekshibisi seni terbesar di Yogyakarta ini mengangkat sejumlah persoalan pada daerah pinggiran yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Event ini memberikan ruang bagi para seniman Yogyakarta untuk bebas berkreasi dan dapat diikuti oleh semua seniman tanpa ada batasan usia maupun lamanya dalam berkarya.
“Ini juga sebagai wadah bagi kami untuk mempersiapkan regenerasi atas seniman-seniman yang sudah lama berkecimpung dibidang seni rupa terutama di Yogyakarta yang selalu mengikuti Jogja Bienale,” jelasnya.
Kebebasan untuk berekspresi terlihat dari salahsatu karya Angki Purbandono seniman asal Yogyakarta yang mengangkat judul Open Diary. Dirinya menampilkan ratusan catatan yang dibuat pada saat berada didalam penjara selama 10 bulan.
“Pengalaman seniman jarang sekali diangkat dengan telanjang apa adanya dan pada event ini saya berusaha mengajak publik untuk berdialog dan mengetahui yang terjadi dalam pengalaman dan pikiran yang saya alami,” tulis Angki dalam keterangan karyanya.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho yang turut hadir pada pembukaan Bienale Jogja Equator#5 menuturkan, event ini merupakan wadah bagi inspirasi seniman dalam menginterprestasikan beragam persoalan pinggiran.
“Persoalan pinggiran menjadi fokus pada gelaran Bienale Jogja tahun ini dengan menampilkan para seniaman generasi baru yang penuh dengan ide-ide baru yang terdiri dari seniman milenial hingga intelektual,” tuturnya.
Aris berharap dengan digelarnya Bienale Jogja Equator#5 ini dapat menjadi ruang para seniman untuk dapat bebas mengekspresikan diri namun tetap dalam kaidah-kaidah seni yang ada.
“Jadikan juga Bienale Jogja ini sebagai sarana rekreasi seni bagi masyarakat karena Yogyakarta merupakan salahsatu tempat atau rumah bagi seni dan sastra,” tutupnya.
Kirim Komentar