Gudegnet - Musik tradisi makin banyak dibawakan oleh musisi-musisi muda, tentunya dengan kreasi segar. Festival Musik Tembi (FTM) yang tahun ini memasuki gelaran yang kedelapan, menjadi salah satu ajang bagi musik tradisi dengan beragam kreasi baru tersebut.
Sejak pertama diadakan pada 2011, festival ini konsisten mengangkat musik tradisi baru sebagai wujud identitas musik Indonesia. “Penyelenggaraan FMT sendiri diadakan untuk memfasilitasi dan sebagai laboratorium apresiasi terhadap musisi tanah air tanpa adanya sekat genre,” kata Festival Director FMT 2018.
Diharapkan, Musik Tradisi Baru juga dapat mengangkat bunyi-bunyian dan menggali identitas musik nusantara.
Pada gelaran tahun ini, FMT mengangkat alat musik Bundengan dari Wonosobo. Alat musik yang berbentuk seperti tudung ini diangkat karena keunikannya yang selaras dengan konsep acara ini. Bundengan diperkenalkan dan didemonstrasikan pada acara bincang-bincang musik FMT yang menghadirkan seniman Bundengan asal Wonosobo, Munir dan lokakarya bermain Bundengan bersama Hengki Krisnawa pada esoknya.
Festival yang digelar selama dua hari (5-6/5) ini antara lain menampilkan kelompok musik Swaranusa, grup yang personilnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, Kalimantan, Padang, Lampung, Banyuwangi, Lampung dan Palu.
Eksplorasi musikal juga muncul dalam bentuk instalasi bunyi karya Nino & Rangga dan kawan-kawan. Instalasi ini merupakan sebuah ruang dengan sensor cahaya dan tekan di beberapa titik, yang akan menimbulkan bebunyian tradisi dalam bentuk digital. Pengunjung dapat berinteraksi dengan instalasi tersebut.
Malamnya, antara lain tampil kelompok-kelompok musik terpilih dari Musik Tradisi Baru 2018; Bengkel Seni Bias 14, Malire, Wahyu TP, Nyaru Menteng, Dora Gyorfi, Supriyadi, dan M. Hario Efeneur. Acara ini ditutup oleh Bintang Indrianto feat Sruti Respati, Ayu Laksmi feat Svara Semesta, pemberian penghargaan dan apresiasi terhadap kelompok musik terpilih, serta penampilan dari Orkes Wangak.
Kirim Komentar