Gudeg.net—Iya tetapi bukan. Setidaknya dari kacamata masyarakat awam Madura dan Jawa nampak sama, tetapi juga sangat berbeda.
Banyak yang tanpa pemikiran lebih lanjut, tertanam dalam sudut otaknya bahwa Madura bagian dari Jawa, hanya terpisah celah selat kecil yang hanya berjarak 20 menit dengan kapal feri.
Bahkan garis kota terlihat dari masing-masing pulau. Jadi, sama saja bukan? Tetapi tidak. Betapa salahnya asumsi ini.
Madura berdiri sendiri sebagai entitas mandiri dengan segala adat istiadat, bahasa, budaya yang sangat berbeda dari Jawa. Bahkan kacamata sejarah antarpulau ini berbeda.
Némor Southeast Monsoon adalah pameran yang dapat menjelaskan kebingungan bagi orang awan ini. Bagi kita yang hidup dalam gelembung ‘sama saja’ dapat mengintip dan belajar dari penggalan cerita Madura yang disampaikan 13 seniman yang mewakili Madura dari berbagai sisi.
Némor adalah kata yang dipakai oleh masyarakat Madura untuk menyebut musim kemarau. Kata yang asing bagi masyarakat Jawa ini merujuk pada angin muson timur (southeast monsoon)yang bergerak lamban, meniupkan kering dan panas dari seberang lautan.
“Pada bulan-bulan ketika némor tiba, matahari begitu terik, tanah merengkah kering, dan lanskap bersalin warna menjadi cokelat,” jelas Ayos Purwoaji dan Shojifur Ridho’I, keduanya adalah kurator pameran di Cemeti Insitut untuk Seni dan Masyarakat dalam catatan kuratorialnya.
Bagi warga Jogja, deskripsi ini adalah gambaran suram yang berarti kekeringan dan kelangkaan air, seperti yang terjadi saat ini. Tapi tidak untuk penduduk Madura.
Bagi mereka, némor bak masa inudasi bagi masyarakat Mesir kuno, pertanda baik di mana mereka bisa mulai menanam tembakau, memanen garam sebanyak-banyaknya, dan bagi pelaut untuk bergerak ke arah barat.
Masih dalam catatan kuratorial, sejarawan Kuntowijaya menyebutkan bahwa budaya Madura dipengaruhi oleh ekotipe tegalan. Di mana sistem perladangan kering membentuk pola pikir, orientasi pemukiman, hingga cara orang Madura menyelesaikan masalah.
Pameran ini berusaha membongkar dan menelaah kembali Madura sebagai wilayah psiko-geografis dan kultural dalam spektrum yang lebih luas.
Seniman yang terlibat dianggap mewakili keragaman penduduk Madura. Sebagian adalah penduduk Madura, sebagian Madura diaspora, sebagian mewakili Pandalungan, dan sisanya perupa non-Madura yang memberikan pandangan yang lebih berjarak.
“Apakah Madura dan Jawa bisa setara?”. Pertanyaan ini membawa Lutvan Hawari berusaha mengidentifikasi pengalaman bunyi yang dialaminya di Jawa dan Madura.
Terbagi dalam empat kelompok narasi; sejarah, pesisir, tanah, dan gender, pameran ini banyak merujuk pada Trunajaya sebagai perspektif sejarah.
Dalam mata sejarah Jawa, Trunajaya adalah pemberontak yang konon kepalanya dinistakan dengan dikubur di salah satu anak tangga menuju puncak pemakaman raja di Imogiri. Bagi warga Madura, Trunajaya adalah pahlawan yang membela rakyatnya.
“Kepala Trunajaya tak ketinggalan, dipakai sebagai kesed kaki diwaktu malam, siapa saja yang pergi tidur, harus membersihkan kakinya di kepala Trunajaya.” Ini adalah penggalan cerita yang dipilih Suvi Wahyudianto dalam karyanya “Madura, Mun Maré Ondhura” (Madura, Jika Telah Tunai Aku Pulang).
Suvi mengabil cerita ini sebagai pengalaman traumatik. Jika kisah ini dijadikan kacamata unutk melihat hubungan Jawa dan Madura di kemudian hari, maka efeknya menempatkan Madura sebagai pihak yang dirugikan.
Lain lagi dengan karya Remi Decoster, “Mascara” yang melihat Madura dari perspektif gender. Membuat karyanya, ia mengikuti kehidupan sejumlah penata rias yang diasosiasikan feminin. Sekelompok laki-laki ini memliki kesenangan berdandan (crossdressing) dan berkelakuan seperti perempuan.
Sesuatu yang menurut Remi adalah anomali di tengah masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai konservatif dan tradisional.
Menelusuri apa yang ditawarkan pameran ini seperti dicubit oleh kenyataan. Bahwa terkadang kita lupa kejadian dan realitas selain yang kita miliki juga valid dan nyata. Bahwa Madura tidak hanya sekadar satu pulau di timur laut sana. Bahwa dalam tubuh Madura pun ada banyak keragaman yang tak akan mampu diwakilkan oleh satu pameran.
Pameran ini berlangsung hingga 14 September 2019 mendatang di Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat, Jalan DI Panjaitan No 41. Galeri dapat didatangi dari Selasa- Sabtu, dari pukul 10.00-17.00 WIB.
Kirim Komentar