Gudeg.net—Temu Seniman dan Budayawan Kamis (12/9) sekaligus menjadi peluncuran buku lima naskah besutan pentolan Teater Gandrik, Adrianus Heru Kesawa Murti.
Berlangsung di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), peluncuran buku ini berlangsung semacam eulogi untuk Heru yang akarab dipanggil Pak Bina karena perannya. Buku yang dimaksud diberi judul ‘Kesawamurti: Lima Imajinasi Naskah Teater Heru Kesawa Murti’.
Susilo Nugroho, Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Jujuk Prabowo, Paksi Raras Alit, dan sejumlah seniman lainnya pun ada dalam peluncuran sore itu.
Mereka membagikan kenangan dan perasaan mereka terhadap Heru maupun naskahnya. Proses kilas balik pun terjadi di antara mereka, memberikan pengalaman berharga bagi orang-orang yang hadir.
Masing-masing dari mereka menceritakan perjalanan karya setiap naskah Heru yang mereka bawakan. Bagaimana terkadang naskah tersebut harus mereka ubah agar lebih menarik, lebih masuk, lebih luwes, atau apapun alasan lainnya.
Meski begitu, esensi dari naskah tidak pernah mereka ubah. “Semua naskah melalui proses yang unik dan mengasyikkan. Mas Heru selalu mengikhlaskan karyanya ditafsir dan diperkaya oleh para pemain,” ujar Butet Kartaredjasa saat diwawancarai sesaat setelah peluncuran buku (12/9).
Dari 26 lakon yang pernah dipentaskan oleh Teater Gandrik, 20 judul ditulis oleh Heru. Lima dari judul tersebut dimasukkan dalam buku ini.
Naskah yang dimasukkan merupakan naskah drama berjudul Kontrang Kantring (1984), Pasar Seret (1984), Pensiunan (1986), Departemen Borok (2003), dan Pantai Idola atau Pandol (2010). Judul terakhir ditulis satu tahun sebelum Heru meninggal dunia.
Dalam catatan oleh Mustofa W Hasyim yang juga hadir sebagai narasumber, ia menyebutkan bahwa Teater Gandrik memang didominasi oleh karya Heru. Dalam konteks ini terjadi semacam proses dialektis atau proses bolak balik.
Ia menyebutnya sebagai fenomena Heru yang meng-Gandrik, atau Gandrik yang meng-Heru. “Kegandrikan teater grup ini tumbuh bersama-sama dengan Keheruannya, saya lihat begitu,” tulisnya.
Proses unik ini menjadikan naskah yang dibawakan Gandrik selalu berubah setiap dipentaskan. Tentu untuk teater lain pun jika membawakan naskah milik Heru akan berbeda.
“Buku ini merupakan lambang atau simbol kesetiaan Mas Heru pada dunia teater. Buku Kesawamurti ini menjadi penting dan menjadi sumber inspirasi secara terbuka,” tutup Mustofa.
Kirim Komentar