Gudeg.net—Sore hari di Panggung Umpak Ngayogjazz 2019 (16/11) terasa manis sekaligus getir. Kepergian motor utamanya, Djaduk Ferianto tiga hari sebelumnya (13/11), memberi duka mendalam. Namun, kehadirannya di panggung membawa haru. Maestro jazz, Idang Rasjidi membawa Djaduk kembali.
Idang, yang merupakan sahabat baik Djaduk, membawa piranti perkusi miliki Djaduk dan sejumlah foto dari Bangka Jazz Festival yang dihelat beberapa waktu lalu.
Ia juga membawa lukisan wajah Djaduk yang diakunya sebagai lukisan karya anaknya.
Tampil dalam pentas bertajuk edu concert, Idang tampil bersama legenda jazz, Oele Pattiselano, dan tiga musisi jazz muda lainnya. Almarhum Djaduk juga sebenarnya dijadwalkan tampil bersama Idang dan teman-temannya.
Idang Rasjidi dalam edu concert di Panggung Umpak Ngayogjazz 2019 (16/11)/Foto: Farid Wong
Idang membawakan beberapa lagu yang menurut pengakuannya adalah lagu yang dipilih oleh Djaduk. Dalam beberapa kesempatan ia mengundang Djaduk untuk menabuh perkusinya.
Di saat tersebut, Idang yang terkenal dapat menirukan suara instrumen dengan mulutnya, menirukan suara tetabuhan perkusi.
Suasana semakin haru saat Idang menjadikan koser ini sebagai momentum untuk mengenang Djaduk. Dengan terbata-bata dan mata berkaca-kaca ia berucap, “Yang dimakamkan itu cuma bajunya Djaduk. Ia hadir di sini.”
Di tengah pertunjukan, Bernadette Ratna Ika Sari atau akrab dipanggil Petra Ferianto, istri Djaduk naik ke panggung didampingi Reagina Maria, vokalis Everyday Band.
Ia menyanyikan lagu “Mau Dibawa Kemana” milik band Armada. Penonton pun ikut bernyanyi bersama Petra.
Ditemui petang itu (16/11), Idang menceritakan kenangannnya bersama Djaduk, 10 hari sebelum meninggal. Menurut Idang, 10 hari terakhir hidup Djaduk dihabiskannya bersamanya. Ia menekankan bahwa posting media sosial terkahir Djaduk adalah fotonya.
Sebelumnya mereka bertemu di Bangka Jazz Festival. Mereka lalu meluangkan waktu sehari khusus untuk berbicara mengenai Ngayogjazz. Ia mengatakan banyak ide dan hal-hal yang belum tercapai.
“Orang menyebutkan Idang dan Djaduk seperti Soekarno-Hatta,” kenangnya sambil tersenyum dan menerawang.
Ia bercerita, tanpa Djaduk jelas Ngayogjazz terpengaruh. “Jiwa Djaduk di sini membesarkan jiwa anak-anak di sini,” katanya. Namun, jiwa Djaduk sudah kadung melekat di acara ini.
Ia juga menyebut Ngayogjazz sebagai festival terunik di dunia. “Sulit untuk mencari tandingannya,” lanjutnya. Ia mengenang kegemarannya bersama Djaduk, nyangklong. Mereka gemar menggunakan pipa tembakau.
“Saya dan Djaduk kalau bersama Djaduk kalau ketemu pasti bercanda, dan bercandanya hancur. Terlalu banyak kenangan saya bersama Djaduk,” ungkapnya sambil tersenyum.
Ia menyebut pertemanannya bersama Djaduk uncomparable, tidak ada tandingannya. Idang pun yakin Djaduk bercerita hal yang sama tentang dirinya.
Kirim Komentar