Gudeg.net - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), bekerjasama dengan The German Academic Exchange Program (DAAD) Indonesia, University of Applied Science Kiel dan Universitas Kristen Indonesia (UKI), menyelenggarakan Workshop dan Seminar Alumni DAAD di Kalyana Resort, Kaliurang, Sleman, pada 15 hingga 19 Maret 2020.
Workshop dan Seminar ini digelar dengan tema Gender-Responsive Leadership in Higher Education Management.
Tema ini dipilih karena Realisasi gender-responsive leadership di berbagai sektor di Indonesia masih menghadapi permasalahan, salah satunya di sektor pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari disparitas gender dalam berbagai level kepemimpinan pada perguruan tinggi.
Minimnya jumlah perempuan yang menduduki pucuk kepemimpinan di perguruan tinggi, membuktikan bahwa keterwakilan suara perempuan dalam pembuatan kebijakan di perguruan tinggi masih rendah.
Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc,., mendukung gerakan kesetaraan golongan, salah satunya dengan mendorong kaum Hawa untuk mengisi posisi strategis yang ada di perguruan tinggi.
“Kepemimpinan perempuan perlu didorong di perguruan tinggi agar perempuan mampu setara dengan laki-laki dalam jabatan-jabatan puncak di Perguruan Tinggi,” ujarnya ketika ditemui di sela-sela acara pada Rabu (18/3).
Sementara itu, Kepala Divisi Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) UMY Dr. Dyah Mutiarin, M.Si, menambahkan, kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi memerlukan intervensi dari political will manajemen puncak yang pada saat ini masih banyak didominasi oleh laki-laki.
Data di Indonesia, secara umum menunjukkan jumlah dosen perempuan masih lebih rendah daripada jumlah dosen laki-laki, begitu juga dalam kepemimpinan di berbagai jabatan dan dalam karir akademik. Menurut dosen yang kerap disapa Arin tersebut, saat ini terdapat berbagai hambatan bagi perempuan dalam kepemimpinan.
Hambatan tersebut antara lain secara cultural perempuan lebih cenderung menarik diri dari pencalonan-pencalonan. Ditambah lagi dengan anggapan dari individu perempuan yang berfikir bahwa tugas perempuan yang utama adalah tugas domestik, sehinga apa pun yang ada di luar itu ditakutkan akan mengganggu jalannya keluarga.
“Kedua, adanya hambatan struktural bahwa untuk jabatan-jabatan tertentu dianggap lebih baik jika diduduki oleh laki-laki. Baik negara maju seperti Jerman maupun negara berkembang seperti Indonesia masih mengalami gender disparitas di perguruan tinggi,” ujar Arin.
Arin juga menjelaskan upaya yang akan terus dilakukan, yakni penguatan-penguatan, training, serta workshop dalam kepemimpinan perempuan salah satunya dengan apa yang dilakukan oleh Alumni DAAD bersama UMY dan UKI ini.
Melalui berbagai penguatan tersebut, akan terwujud Sense of Gender Equality Awareness untuk para perempuan dan laki-laki serta kepemimpinan di perguruan tinggi yang lebih mendekati gender-responsive leadership.
“Untuk mewujudkan kesadaran gender ini, dibutuhkan lingkungan di mana kepemimpinan perempuan bisa diterima diantara para laki-laki, karena pada dasarnya baik perempuan ataupun laki-laki dalam kepemimpinan keduanya memilki kesempatan yang sama,” pungkas Arin.
Kirim Komentar