Gudeg.net-Dunia rancang busana bagi seorang Lia Mustafa seakan-akan tak mungkin untuk ditinggalkan begitu saja. Dari berbagai bidang seni budaya yang pernah ia geluti sejak kecil, sebut saja tari, teater, puisi dan lainnya.
Satu-satunya proses berkarya yang selalu menarik hatinya adalah seni rancang busana. Perempuan kelahiran Bandung, 21 Juli 1964 ini kini tak diragukan lagi keberadaannya sebagai seorang desainer busana kenamaan di tingkat lokal dan nasional.
Dalam perjalanan karya desain di Yogyakarta, ia mampu menemukan makna yang paling dalam bagi dirinya. Desain ditempatkannya sebagai rancangan yang mempunyai nilai perbedaan atas suatu karya yang dapat mengubah citra seseorang secara kasat mata dan sekaligus meningkatkan nilai kepercayaan dan pribadi seseorang.
Nama kecilnya Lia Amaliati Retnoningsih. Lebih sering dipanggil dengan nama Lia. Saat menikah dulu, Lia meninggalkan dunia panggung dan pekerjaan yang telah ditekuninya selama lima tahun.
Tetapi, keinginan untuk kembali pada dunia rancang busana seakan tak mampu dibendung hingga ia meminta pada suaminya, Mustafa Ramadhan untuk dapat bekerja di rumah demi menyalurkan keinginan dan bakatnya di bidang desain.
"Sewaktu dulu saya suka menari, saya suka merancang pakaian tari sendiri. Selain mungkin bakat alam dan lingkungan teman-teman yang rata-rata juga desainer, keinginan itu menjadi terdukung," katanya.
Sarjana Ekonomi Manajemen UPN "Veteran" Yogyakarta ini mengaku pernah ditertawakan karena rancangan bajunya kurang diminati masyarakat umum. Disebut-sebut karyanya terlalu idealis dan membatasi diri pada pasar tertentu.
Pilihan atas garis-garis desainyang tercipta tak terbendung oleh batasan dari orang-orang lain. Idealisme baginya mempunyai waktu dan tempat secara tersendiri. Begitu juga dengan pilihan mengikuti kemauan pasar.
Selama meniti karir, Lia pernah menjadi manajer administrasi (1983-1986), manajer eksekutif (sampai 1989), dan terakhir ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah busana House of L`MAR (Arie Sudewo Garment) yang didirikan pada 1992.
Pengenalannya akan dunia rancang busana didapatkan secara otodidak. Berbagai hal baru senantiasa ditemui ketika Lia berada dalam sebuah lingkungan organisasi. Hal-hal tersebut kemudian diolah menjadi sebuah karya desain sebagai bentuk penyaluran seninya.
"Bagi saya belajar tidak kenal usia dan saya hanya ingin terus berekspresi, tidak terkecuali di bidang seni saja. Bahkan saya sedang asyik memadukan wisata alam, seni dan olah raga," ujar ibu dari Fauzan Armando ini.
Di waktu senggangya, pemilik House of L`Mar yang terletak di Jl. Sisingamangaraja 150 Yogyakarta ini, lebih memilih untuk berolah raga dan mengapresiasi seni. Lia masih menyempatkan diri mengikuti highcamp yang direncanakan pada Februari 2004, naik ke Lawu untuk meliat upacara Suro di sana.
Seabrek jabatan juga diembannya seperti Lions Club Indonesia selaku President of Yogyakarta, Indonesia Junior Chamber selaku President di Yogyakarta periode 2003, Ketua Paguyuban Warga Jawa Barat, Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI) Yogyakarta dan aktivis Suzuki Jeep offroad atau outdoor.
Dalam peragaan busana dengan tajuk "New Image Traditional of Indonesia" dilakukan di Prambanan Resto lebih dari satu dekade lalu, Lia diberi kepercayaan untuk menghibur makan malam para menteri ASEAN.
Dalam peragaan tersebut Lia menampilkan beberapa bahan lurik, batik dan jumputan dengan bahan dasar lace, silk , katun, silk ATBM (Alat Tenin Bukan Mesin) dengan aplikasi bordir dan payet yang tetap menjadi dominasi untuk setiap karya-karya yang dibuat oleh Lia Mustafa.
Pada bulan Juni 2019, Lia mengharumkan nama Indonesia di kancah ASEAN Weeks di Seoul, Korea Selatan. Ia disandingkan dengan 10 perancang busana ASEAN serta perancang dari Korea Selatan.
Rancangannya yang bertipe kasual mengandalkan tenun lurik kontemporer dengan rajutan pola kawung dan motif garis-garis. Busana rancangannya menjadi perhatian khusus di acara tersebut.
"Hidup seseorang ada pasang dan surutnya. Saya pernah mengalaminya semenjak belum menikah hingga sekarang. Mengangkat harkat keluarga pernah saya cita-citakan saat kuliah dan kerja. Alhamdullilah, Allah memang sayang saya, maka saat menikah, Allah memberikan terbaik buat saya dan keluarga," ungkapnya.
Bukan berarti harus berhenti pada satu titik, pasang-surut tetap ada dan ternyata manusia harus terus berkompetisi dan berusaha. Berbagai titik pasang dan surut pada akhirnya membawa Lia pada makna kehidupan yang senantiasa dipegang.
Saat ini, tak bisa dipungkiri Lia berada pada sebuah titik di mana masyarakat mode memandangnya sebagai seorang seniman rancang busana.
Kirim Komentar