Gudeg.net—Semenjak film “Petualangan Sherina” karya Riri Riza dilempar ke pasaran di medio 2000, dunia perfilman Indonesia kembali menggeliat. Setelah film “Jelangkung” dan “Ada Apa dengan Cinta?” menyusul sukses di pasaran, perfilman Indonesia seperti tak terbendung.
Perkembangan zaman dan kemudahan teknologi membuat film semakin mudah untuk diproduksi. Sekolah-sekolah film pun tidak membutuhkan modal besar agar muridnya dapat membuat film.
Produksi yang melimpah ruah ini sayangnya tidak sebanding dengan usaha pengarsipannya. Sedari dulu, usaha pengarsipan film di Indonesia memang tidak banyak mendapat perhatian khusus.
Hanya satu orang yang cukup memiliki kemauan besar untuk mendokumentasikan karya anak bangsa agar dapat dipelajari dan dikaji, Misbach Yusa Biran.
Usahanya untuk mendokumentasikan film melahirkan Sinematek yang merupakan arsip film pertama di Asia Tenggara dan satu-satunya di Indonesia. Sayangnya, Sinematek tidak mendapat penanganan yang layak semenjak Misbach pensiun. Kini Sinematek dalam keadaan sekarat.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jogja Film Academy (JFA) menyadari pentingnya pengarsipan dan urgensi untuk kembali menjalankan pengarsipan film.
Bertepatan dengan Hari Film Nasional, BEM JFA mengadakan agenda “Jogja Film Archive (JFA)” selama tiga hari, 29-31 Maret 2021, di Sayap Ruang Seni, Cepit, Bantul.
“Kami ingin mencoba untuk menemukan cara agar ekosistem Jogja bisa menumbuhkan lagi usaha-usaha pengarsipan,” jelas Andika Wahyu AP, Program Director JFA saat berbincang dengan Gudegnet, pekan lalu.
Walaupun ingin pengarsipan film dilaksanakan dalam lingkup nasional, mereka ingin memantapkan pengarsipan di Jogja terlebih dahulu.
“Kalau lingkup kecil sudah bisa kita petakan, targetnya bisa dinasionalkan,”ujarnya lagi.
Sebelumnya, Jogja memiliki Rumah Sinema yang kerap mengarsipkan film-film Jogja. Namun, karena sesuatu hal, Rumah Sinema berhenti beroperasi di tahun 2018. Dengan matinya Rumah Sinema, mati pula lah usaha pengarsipan film di Jogja.
Kegiatan yang beragendakan nobar (nonton bareng) dan diskusi arsip film ini menggaet tokoh perfilman, pemerintahan daerah, praktisi film, dan orang-orang yang peduli dengan pengarsipan untuk membahas kondisi saat ini dan mencari solusi untuk itu.
Menurut Andika, JFA sendiri memiliki banyak item arsip yang tidak diarsipkan dengan benar. JFA banyak mendapat hibah dan film, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan barang-barang tersebut.
“Kita selalu dihibahkan dari JAFF, Danais, dari Rumah Sinema, tapi kita sendiri belum pernah ada workshop pengarsipan seperti apa,” katanya.
Menurutnya, tolok ukur seorang praktisi film untuk melihat penonton pasarnya seperti apa dapat dilihat di film yang diarsipkan. Dari kajian, penggiat film dapat mengkaji sejarah pembuatan film.
Aspek-aspek tersebut saat ini terbengkalai karena fokus mahasiswa saat ini adalah produksi film terus menerus. Jarang ada yang memiliki perhatian untuk pengarsipan karena dianggap pekerjaan yang membosankan.
Namun, kejenuhan itu harus dilawan. Arsip merupakan catatan konkret atas pencapaian dan yang belum dicapai di dunia film Indonesia.
Kekerasan hati dan kegigihan seorang Misbach mengganjarnya menjadi orang pertama yang mendapatkan Lifetime Achievement Award dari Asosiasi Arsip Audiovisual Asia Tenggara-Pasifik (Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association, SEAPAVAA).
Warisan kerja kerasnya, Sinematek nampak akan mati bersamanya. Sejenuh apapun, pengarsipan tetap harus dijalankan dari komunitas terkecil. Arsip-arsip ini adalah warisan besar untuk dunia perfilman Indonesia di masa mendatang.
Kirim Komentar