Hal yang paling mencolok pagi itu adalah hujan seharian, dan tetap saja tempat parkir halaman gedung Lembaga Indonesia Prancis di Jalan Sagan penuh sesak dengan jejeran kendaraan bermotor. Seakan hujan yang tak kunjung reda itu adalah keseharian yang sangat biasa bagi mereka. Keseharian yang sama coba dihadirkan pula di dalam auditorium Lembaga Indonesia Prancis.
Acara yang berjudul "Keberagaman Melalui Film Dokumenter" itu diawali dengan pemutaran sebuah Film Dokumenter berjudul "Lahir di Aceh". Film itu berjalan dengan cepatnya selama 20 menit. Sejak dari awal film itu sudah menyuguhkan salah satu variasi dari sebuah keseharian pada saat perang. Keseharian di mana anak-anak yang berbicara di film itu menjalaninya dengan teror dan kesedihan ketika orang tua mereka menjadi korban pertarungan antara GAM dan TNI.
"Menariknya, film ini berkesan sangat intimidatif dan dibuat benar-benar sedih. Itu bisa dilihat dari musiknya dan beberapa shotnya yang sangat ekstrim. Misalnya seorang anak yang menangis ketika menceritakan Bapaknya mati pada waktu operasi militer di shot dengan ekstrim close up pada wajah dan tetesan air mata. Lalu apa bedanya dengan berita di TV dan sinetron?" ujar R.Kristiawan membuka acara pada hari itu.
Yayasan Kampung Halaman dan Komunitas Dokumenter sudah melakukan riset bahwa memang pembuat film indonesia sudah menjadikan isu-isu dari kelompok minoritas sebagai isu utama, tetapi sayangnya justru cenderung berkesan eksploitatif, imitidatif dan mendramatisir subyek atau isu film sendiri. Terlihat dari cara melihat permasalahnnya, angel penceritaan bahkan sampai detail sinematografis (atau bahasa kamera,shot-shotnya -red).
Acara ini memang mencoba menyoroti bagaimana sebuah tema atau ide diterjemahkan dalam sebuah teknis produksi sebuah film dokumenter. Apakah teknis produksi justru membuat ide sebuah film dokumenter menjadi kontraproduktif. "Seperti contohnya ada sebuah film dokumenter yang mencoba menceritakan alternatif kisah dari G30S/PKI justru shot-shot yang ada dalam film tersebut seperti film tentang G30S/PKI bikinan Pemerintah" lanjut R. Kristiawan.
Sesi berikutnya dari acara ini diisi dengan pemaparan penelitian dari Budi Irawanto. Budi Irawanto mengawali pemaparan tentang gambaran perkembangan film dokumenter Indonesia dengan membeberkan sejumlah data FFD 2002 sampai 2007 dalam persentase. Misalnya film ini sebagaian besar dibuat oleh anak muda, tetapi 75% berbicara tentang karakter dewasa. 24,9% adalah tema tentang ketimpangan fasilitas publik atau politik identitas dan identitas di sini 59% adalah identitas etnis dan 38% identitas agama. Menariknya adalah dari persentase ini bisa dilihat bahwa sudah ada beraneka ragam gaya penceritaan film dokumenter. Model naratif yang membosankanpun sudah ditinggalkan. Buktinya 56% menggunakan sudut pandang orang pertama dan 64% menggunakan suara asli, hanya 25% yang menggunakan voice over.
Persoalannya adalah apakah keberagaman itu dimaknai sebagai keberagaman yang sekedar "dirayakan" saja ataukah keberagaman dimaknai sebagai analisis kritis untuk kesetaraan dan rekonsiliasi.Persoalan inilah yang nantinya menjadi pekerjaan peserta acara ini.
Sejatinya, acara ini yang utamanya adalah kompetisi beasiswa pembuatan film dokumenter. Peserta pada awalnya mengisi proposal ide kemudian pada acara hari ini membawa proposal tersebut untuk didiskusikan dengan bebarapa pakar dimuka. Jadwal selanjutnya dari acara ini adalah pengumpulan proposal ide paling lambat 11 Desember 2008, pengumuman 5 besar pada 12 Desember 2008 dan pengumuman pemenang tanggal 13 Desember 2008.
Acara yang berjudul "Keberagaman Melalui Film Dokumenter" itu diawali dengan pemutaran sebuah Film Dokumenter berjudul "Lahir di Aceh". Film itu berjalan dengan cepatnya selama 20 menit. Sejak dari awal film itu sudah menyuguhkan salah satu variasi dari sebuah keseharian pada saat perang. Keseharian di mana anak-anak yang berbicara di film itu menjalaninya dengan teror dan kesedihan ketika orang tua mereka menjadi korban pertarungan antara GAM dan TNI.
"Menariknya, film ini berkesan sangat intimidatif dan dibuat benar-benar sedih. Itu bisa dilihat dari musiknya dan beberapa shotnya yang sangat ekstrim. Misalnya seorang anak yang menangis ketika menceritakan Bapaknya mati pada waktu operasi militer di shot dengan ekstrim close up pada wajah dan tetesan air mata. Lalu apa bedanya dengan berita di TV dan sinetron?" ujar R.Kristiawan membuka acara pada hari itu.
Yayasan Kampung Halaman dan Komunitas Dokumenter sudah melakukan riset bahwa memang pembuat film indonesia sudah menjadikan isu-isu dari kelompok minoritas sebagai isu utama, tetapi sayangnya justru cenderung berkesan eksploitatif, imitidatif dan mendramatisir subyek atau isu film sendiri. Terlihat dari cara melihat permasalahnnya, angel penceritaan bahkan sampai detail sinematografis (atau bahasa kamera,shot-shotnya -red).
Acara ini memang mencoba menyoroti bagaimana sebuah tema atau ide diterjemahkan dalam sebuah teknis produksi sebuah film dokumenter. Apakah teknis produksi justru membuat ide sebuah film dokumenter menjadi kontraproduktif. "Seperti contohnya ada sebuah film dokumenter yang mencoba menceritakan alternatif kisah dari G30S/PKI justru shot-shot yang ada dalam film tersebut seperti film tentang G30S/PKI bikinan Pemerintah" lanjut R. Kristiawan.
Sesi berikutnya dari acara ini diisi dengan pemaparan penelitian dari Budi Irawanto. Budi Irawanto mengawali pemaparan tentang gambaran perkembangan film dokumenter Indonesia dengan membeberkan sejumlah data FFD 2002 sampai 2007 dalam persentase. Misalnya film ini sebagaian besar dibuat oleh anak muda, tetapi 75% berbicara tentang karakter dewasa. 24,9% adalah tema tentang ketimpangan fasilitas publik atau politik identitas dan identitas di sini 59% adalah identitas etnis dan 38% identitas agama. Menariknya adalah dari persentase ini bisa dilihat bahwa sudah ada beraneka ragam gaya penceritaan film dokumenter. Model naratif yang membosankanpun sudah ditinggalkan. Buktinya 56% menggunakan sudut pandang orang pertama dan 64% menggunakan suara asli, hanya 25% yang menggunakan voice over.
Persoalannya adalah apakah keberagaman itu dimaknai sebagai keberagaman yang sekedar "dirayakan" saja ataukah keberagaman dimaknai sebagai analisis kritis untuk kesetaraan dan rekonsiliasi.Persoalan inilah yang nantinya menjadi pekerjaan peserta acara ini.
Sejatinya, acara ini yang utamanya adalah kompetisi beasiswa pembuatan film dokumenter. Peserta pada awalnya mengisi proposal ide kemudian pada acara hari ini membawa proposal tersebut untuk didiskusikan dengan bebarapa pakar dimuka. Jadwal selanjutnya dari acara ini adalah pengumpulan proposal ide paling lambat 11 Desember 2008, pengumuman 5 besar pada 12 Desember 2008 dan pengumuman pemenang tanggal 13 Desember 2008.
Kirim Komentar