Gudeg.net—Suasana kemerdekaan masih terasa. Tidak ada salahnya kita merenungkan kembali jasa pahlawan dan usaha mereka dalam meraih kemerdekaan. Walaupun masih jauh dari kata ideal, setidaknya kita tidak perlu hidup di bawah ancaman perang.
Film rekomendasi Gudegnet kali ini ada yang merupakan kisah nyata, ada pula kisah fiksi yang memberikan sedikit kilasan kehidupan yang dihantui peperangan. Film-film ini mungkin bisa membangkitkan semangat nasionalisme.
#1 November 1828 (1979)
Film dengan sinematografi cantik ini merupakan film drama epos yang disutradarai oleh Teguh Karya. Walaupun berlatarbelakang perjuangan Pangeran Diponegoro, film ini berfokus pada tangan kanannya, Sentot Prawirodirjo.
Film berdurasi 140 menit ini mengangkat tema loyalitas dan penghianatan. Konflik yang terjadi seputar perebutan kekuasaan, idealisme, dengki, dan ambisi dari pihak Belanda dan Indonesia.
Film ini dibintangi oleh Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat, El Manik, dan Yenny Rachman.
#2 Kereta Api Terakhir (1981)
Film ini diadaptasi dari novel ‘Kereta Api Terakhir ke Jogjakarta: Roman Revolusi 45’ karya Pandir Kelana (Slamet Danusudirdjo), sastrawan asal Banjarnegara yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta.
Mengambil latar belakang peristiwa Perjanjian Linggarjati yang diromatisisasi, film ini bercerita tentang kesulitan dan percintaan yang terjadi saat Markas Besar TNI menarik semua kereta api ke Yogyakarta.
Letnan Sudadi (Rizawan Gayo), Letnan Firman (Pupung Harris), Sersan Tobing (Gito Rollies), dan Kolonel Gatot Subroto (Sundjoto Adibroto) ditugaskan untuk mengawal semua kereta yang akan diberangkatkan dari Stasiun Purwokerto.
Berbagai hambatan mereka temui dalam perjalanan ini, termasuk kisah cinta Firman dengan dua gadis bernama Retno yang ternyata adalah saudara kembar.
Film berdurasi 170 menit yang disutradarai oleh Mochtar Soemodimedjo ini direstorasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019.
#3 Janur Kuning (1979)
Pernah dijadikan film wajib saat era kekuasaan Soeharto, film ini kini mendapat banyak kritik dan cemooh.
Berlatar belakang perjuangan Jendral Soedirman (Deddy Sutomo) saat peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949, film ini dianggap terlalu mengglorifikasi peran Soeharto (Kaharuddin Syah) dan meniadakan peran Sultan Hamengkubuwono IX.
Menelan dana Rp350 juta (jumlah yang fantastis untuk masa itu), film kolosal epik ini melibatkan ribuan figuran, tank, panser, hingga pesawat terbang. Ribuan seragam dan baju kostum dibuat untuk film ini.
Sebagai hiburan, film yang disutradarai Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja patut ditonton. Lebih dari tiga dekade sejak film ini dibuat, belum ada film peperangan Indonesia yang dapat menyamai kekolosalan film ini.
#4 Serangan Fajar (1982)
Sama seperti Janur Kuning, film ini juga pernah menjadi film yang wajib ditonton pada era kekuasaan Soeharto.
Film ini merupakan film drama semidokumenter yang berkisah tentang perjuangan Indonesia. Disutradarai oleh Arifin C Noer, film tiga bagian ini berlatar belakang perjuangan yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 1945-1947.
Pada masa tersebut, Indonesia sedang berusaha mempertahankan kedaulatannya. Kisahnya berpusat pada kisah seorang bocah, Temon (Antonius Yacobus) dan pamannya (Charlie Sahetapy).
Kisah Temon tentang menunggu ayahnya, yang merupakan seorang tentara, pulang dari medan perang. Sedangkan sang paman berusaha untuk mendapatkan cinta dari gadis pujaannya.
Empat bulan setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengatakan film ini (bersama film wajib lainnya) berusaha memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus yang berpusat pada Soeharto.
#5 Enam Djam di Jogja (1951)
Film ini seperti Janur Kuning, berlatar belakang peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Film besutan Usmar Ismail ini merupakan produksi kedua Perusahaan/Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini).
Film ini menceritakan kisah Indonesia melakukan perang geriliya saat Yogyakarta diduduki Belanda (Desember 1948).
Pasukan Indonesia akhirnya bisa menyerbu dan menduduki Yogya, walaupun hanya selama enam jam. Peristiwa ini untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI masih punya kekuatan, dan tidak hancur seperti dipropagandakan Belanda.
#6 Pedjuang (1960)
Kembali disutradari oleh Usmar Ismail, film ini merupakan film drama tentang percintaan dengan latar belakang peperangan. Film ini berdurasi 152 menit.
Alkisah pada tahun 1947, seorang peleton pimpinan Letnan Amin (Rendra Karno) mendapat tugas untuk mempertahankan sebuah jembatan yang sangat strategis.
Pasukan ini juga melindungi sejumlah pengungsi, antara lain Irma (Chitra Dewi), anak keluarga menengah yang sinis terhadap pejuang kemerdekaan.
Amin dan Irma akhirnya menjalin kasih. Seorang Sersan Mayor bernama Imron (Bambang Hermanto) juga menaruh hati pada Irma. Hal ini diketahui Kopral Seno (Bambang Irawan) yang mencurigai niat Imron. Seno curiga Imron ingin menyingkirkan Amin untuk mendapatkan Irma.
#7 Tjoet Nja’ Dhien (1988)
Film drama epos biografi ini merupakan film besutan sutradara Eros Djarot. Film ini memenangi Piala Citra sebagai Film Terbaik di Festival Film Indonesia 1988, selain tujuh penghargaan Piala Citra lainnya.
Walaupun gagal menjadi nomine Film Berbahasa Asing Terbaik dalam Academy Award ke-62 (1990), film ini merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (1989).
Film ini menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh, Tjoet Nja' Dhien (Christine Hakim) dan teman-teman seperjuangannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan Belanda di zaman Hindia Belanda.
Film berdurasi 150 menit ini didukung oleh Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar, Pietrajaya Burnama sebagai Pang Laot, Rita Zaharah sebagai Nya' Bantu, Roy Karyadi sebagai Voorneman, Rosihan Anwar sebagai Habib Meulaboh, dan Rudy Wowor sebagai Veltman.
Kirim Komentar