Gudeg.net - Generasi milenial mungkin masih mengenal, atau sedikitnya mendengar, cerita tentang kaset, entah dari orang tuanya atau membacanya lewat internet. Namun, mereka pastilah sudah tidak bersentuhan dengan kaset untuk mendengarkan musik atau rekaman audio lainnya.
Peranti lawasan tersebut, beserta sejumlah player-nya, kini sedang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta. Ditajuki "Cassette Recorder Exhibition: Cassette Reborn", pameran telah dibuka pada Selasa (15/3) malam dan akan berlangsung sampai 22 Maret 2022.
Pada pameran ini, pengunjung dapat menyaksikan koleksi kaset berupa album musik sampai kesenian daerah (tradisional). Selain itu, dipamerkan pula sejumlah pemutar (player) kaset, bahkan yang belum berformat kaset tapi masih berupa gulungan pita.
Suasana pameran 'Cassette Reborn', Selasa (15/3) - Gudegnet/ Farid
Terhadap kaset-kaset yang dipamerkan, "Saya melihatnya sebagai artefak kebudayaan," kata Frans Sartono selaku kurator Bentara Budaya dalam sesi pembukaan.
Frans memaparkan, jika pada masa 1970-80an tak ada kaset, kita tidak akan mengenal nama-nama seperti Basiyo, Ki Timbul Hadiprayitno, Cak Markeso dan lain-lain. Di luar kaset, tak ada rekaman untuk seni tradisi.
Produser-produser rekaman yang jeli, menurut dia, mengangkat kesenian tradisional seperti dagelan Mataram, wayang kulit, ludruk dan sebagainya ke ranah yang lebih tinggi, yang lebih luas audiensnya. "Tanpa mereka, kesenian daerah takkan menyebar luas seperti saat ini," tuturnya.
Di dunia rekaman musik pop, Frans mencontohkan kesuksesan kelompok musik Koesplus, yang katanya dalam satu tahun mampu mengeluarkan sekitar lima album. Koesplus tidak hanya memiliki album pop, tetapi juga antara lain album Natal, Qasidah, Pop Jawa, Melayu dan Keroncong.
Dijelaskan, ketika masuk ke perusahaan rekaman Remaco, Koesplus benar-benar memasuki industri musik. "Benar-benar dia menjadi mesin musik yang luar biasa, dan anehnya banyak penggemarnya dan laku," jelas pensiunan wartawan Harian Kompas itu.
Frans Sartono juga menyebut dua nama besar yang tak dapat dilepaskan dari industri kaset rekaman kala itu, bahkan hingga rekaman masa kini, yakni Yohanes Suryoko (Aquarius Record) dan Jan Djuhana (Sony Music Indonesia). Nama yang disebut terakhir itu dinilainya punya telinga yang jeli, dan dialah yang melambungkan nama beberapa grup musik seperti Dewa 19 dan Sheila on 7.
Beberapa bos rekaman di Jakarta saat itu menolak lagu-lagu dari band itu. "Sheila itu ditolak di mana-mana. Begitu didengar oleh pak Jan, itu langsung oke, dan akhirnya memang jadi. Itu band pertama di Jogja yang naik daun... yang luar biasa, menurut saya," paparnya.
Keberadaan kaset di dunia rekaman pada masa itu memang amat populer. Selain format CD audio belum ada, piringan hitam juga dianggap cukup tinggi dalam hal harga, belum lagi player-nya yang tidak seportabel player kaset.
Melihat begitu luasnya penggunaan kaset untuk perekaman inilah Frans lantas bependapat bahwa kaset tak sekadar merekam musik, melainkan juga merekam dinamika kebudayaan musik pop, budaya pop, tanah air.
"Bukan sekadar rekaman audio, tapi juga rekaman kebudayaan kita, yang benar-benar hasil jerih payah kreativitas bukan hanya seniman, tapi juga orang-orang yang punya idealisme untuk merekam," pungkasnya.
Kirim Komentar