Seperti biasa, pagi itu (17/07), Suwarno (49) telah membuka usahanya yang memanfaatkan halaman rumahnya sebagai bengkel las di Jl. Petung, Papringan, Sleman, Yogyakarta. Belum habis sebatang rokok yang ia sulut saat mengawali pekerjaannya, tiba-tiba mak pet.., alat las-nya tak lagi mengeluarkan pijar api. Dengan spontan, ia memeriksa alat meteran di samping rumahnya, namun posisi switch sekeringnya ternyata normal. Dengan enteng ia menyimpulkan bahwa ternyata sedang terjadi mati listrik atau giliran, yang oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) diistilahkan pemadaman bergilir.
"Walah...esuk-esuk kok yo digilir (pagi-pagi kok sudah mati listrik -red) ," keluhnya sambil menghampiri tetangganya untuk lebih memastikan keadaan.
Salah satu tetangganya yang ternyata telah mengetahui jadwal pemadaman bergilir ini bahkan dapat menjelaskan perihal lamanya pemadaman ini akan berlangsung. "Katanya sampai jam dua belas pak," jawab tetangganya yang seorang satpam sebuah kantor di Papringan.
Dengan wajah penuh kecewa meski diekspresikan dengan sedikit senyum, Suwarno kembali ke rumahnya dan kembali mengerjakan pekerjaannya yang sekiranya dapat dilakukan tanpa bantuan listrik. Meski sebenarnya masih dapat memanfaatkan las karbit yang dipunyainya, namun ternyata sejumlah pesanan yang sedang ia kerjakan tidak memungkinkan untuk hal itu. Dengan kata lain, hanya dengan batuan listrik pekerjaannya dapat diselesaikan.
"Kalau seperti ini (pemadaman bergilir -red) ya ga enak, repot, nggak bisa kerja, wong pekerjaannya harus pakai listrik. Kalau untuk nge-las yang kecil-kecil sih mungkin masih bisa pakai las karbit, tapi sekarang pesanannya besar-besar semua, jadi harus pakai listrik," katanya kepada GudegNet (17/07).
Karena pemadaman bergilir ini, Suwarno terancam tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang telah dipesankan pelanggannya beberapa hari yang lalu. Ia mengaku meski sering kali mendapat keluhan dari pelanggannya jika pesanannya tidak dapat selesai tepat waktu, para pelanggannya biasanya akan memaklumi penyebabnya yakni mati listrik.
"Pelanggan biasanya sih maklum kalau pengerjaan pesanan mereka telat karena mati listrik, karena saya maupun mereka juga tidak bisa apa-apa lagi kalau listrik mati," jelasnya.
Beberapa tahun lalu, Suwarno mengaku mempunyai genset sebagai alat untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi pemadaman litrik oleh PLN. Namun, genset tersebut telah dijual dan tak bisa lagi menopang pekerjaannya jika terjadi mati listrik mendadak.
"Setahun lalu sih saya punya genset. Kalau ada giliran listrik mendadak bisa saya gunakan. Tapi sudah saya jual untuk kebutuhan lain. Penginnya sih beli lagi, tapi belum ada dana untuk itu," tuturnya.
Sebagai pengusaha kecil, Suwarno tidak dapat berbuat banyak jika ada pemadaman listrik bergilir oleh PLN. Meski dalam kondisi yang tidak mengenakkan, ia mengaku tidak akan menuntut pemerintah yang dalam hal ini PLN yang telah memberlakukan pemadaman listrik bergilir. "Masa ya harus nuntut pemerintah, nggak lah," ujarnya sambil tersenyum.
Praktis, baru siang hari pukul 12.00 WIB, Suwarno dapat kembali mengerjakan pesanan pelanggannya karena tepat pada pukul tersebut listik di kampungnya, Papringan kembali menyala.
"Walah...esuk-esuk kok yo digilir (pagi-pagi kok sudah mati listrik -red) ," keluhnya sambil menghampiri tetangganya untuk lebih memastikan keadaan.
Salah satu tetangganya yang ternyata telah mengetahui jadwal pemadaman bergilir ini bahkan dapat menjelaskan perihal lamanya pemadaman ini akan berlangsung. "Katanya sampai jam dua belas pak," jawab tetangganya yang seorang satpam sebuah kantor di Papringan.
Dengan wajah penuh kecewa meski diekspresikan dengan sedikit senyum, Suwarno kembali ke rumahnya dan kembali mengerjakan pekerjaannya yang sekiranya dapat dilakukan tanpa bantuan listrik. Meski sebenarnya masih dapat memanfaatkan las karbit yang dipunyainya, namun ternyata sejumlah pesanan yang sedang ia kerjakan tidak memungkinkan untuk hal itu. Dengan kata lain, hanya dengan batuan listrik pekerjaannya dapat diselesaikan.
"Kalau seperti ini (pemadaman bergilir -red) ya ga enak, repot, nggak bisa kerja, wong pekerjaannya harus pakai listrik. Kalau untuk nge-las yang kecil-kecil sih mungkin masih bisa pakai las karbit, tapi sekarang pesanannya besar-besar semua, jadi harus pakai listrik," katanya kepada GudegNet (17/07).
Karena pemadaman bergilir ini, Suwarno terancam tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang telah dipesankan pelanggannya beberapa hari yang lalu. Ia mengaku meski sering kali mendapat keluhan dari pelanggannya jika pesanannya tidak dapat selesai tepat waktu, para pelanggannya biasanya akan memaklumi penyebabnya yakni mati listrik.
"Pelanggan biasanya sih maklum kalau pengerjaan pesanan mereka telat karena mati listrik, karena saya maupun mereka juga tidak bisa apa-apa lagi kalau listrik mati," jelasnya.
Beberapa tahun lalu, Suwarno mengaku mempunyai genset sebagai alat untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi pemadaman litrik oleh PLN. Namun, genset tersebut telah dijual dan tak bisa lagi menopang pekerjaannya jika terjadi mati listrik mendadak.
"Setahun lalu sih saya punya genset. Kalau ada giliran listrik mendadak bisa saya gunakan. Tapi sudah saya jual untuk kebutuhan lain. Penginnya sih beli lagi, tapi belum ada dana untuk itu," tuturnya.
Sebagai pengusaha kecil, Suwarno tidak dapat berbuat banyak jika ada pemadaman listrik bergilir oleh PLN. Meski dalam kondisi yang tidak mengenakkan, ia mengaku tidak akan menuntut pemerintah yang dalam hal ini PLN yang telah memberlakukan pemadaman listrik bergilir. "Masa ya harus nuntut pemerintah, nggak lah," ujarnya sambil tersenyum.
Praktis, baru siang hari pukul 12.00 WIB, Suwarno dapat kembali mengerjakan pesanan pelanggannya karena tepat pada pukul tersebut listik di kampungnya, Papringan kembali menyala.
Kirim Komentar