Keberadaan seni grafis sebagai salah satu sub disiplin ilmu dari seni rupa ternyata masih kurang dikenal di masyarakat. Cabang lain dalam seni rupa yakni seni lukis dan patung adalah dua cabang yang jauh lebih populer tinimbang seni grafis.
Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Agus Burhan mengatakan, kurang dikenalnya seni grafis di Indonesia karena kurangnya mediasi oleh seniman seni grafis kepada masyarakat sebagai apresiator seni.
"Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pewacanaan seni grafis oleh pihak yang yang berkaitan dengan seni yaitu kurator dan kritikus," katanya kepada GudegNet, Jumat (22/1).
Selain faktor di atas, minimnya apresiasi terhadap seni grafis dinilai karena kebanyakan kolektor dan pecinta seni murni cenderung lebih menyukai karya seni yang hanya diproduksi secara ekseklusif atau terbatas. Sedangkan sebuah karya seni grafis biasanya bisa diproduksi lebih dari satu cetakan atau digandakan dengan menggunakan alat.
Meski demikian, Agus menyatakan optimismenya terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan positif setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.
"Indikasi yang cukup nyata adalah ketika pada pameran Trienale Seni Grafis Indonesia III tahun lalu, seniman grafis muda sungguh bersemangat berkarya pada bentuk kontemporer seni grafis mereka," tegasnya.
Pertanda perkembangan lain adalah adanya kelompok seniman Jogja Taring Padi yang dengan percaya diri mendobrak batas seni tingkat tinggi dengan menggunakan seni grafis. "Mereka berani menggunakan seni grafis sebagai seni publik," ujarnya.
Seni grafis sebagai salah satu cabang dari seni murni memang belum begitu mendapat tempat di masyarakat. Keberadaanya yang memang tergolong masih muda tak pelak kalah dalam hal kepopulerannya dibanding dengan cabang lain dalam seni rupa seperti seni lukis, seni patung, dan seni kriya.
Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Agus Burhan mengatakan, kurang dikenalnya seni grafis di Indonesia karena kurangnya mediasi oleh seniman seni grafis kepada masyarakat sebagai apresiator seni.
"Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pewacanaan seni grafis oleh pihak yang yang berkaitan dengan seni yaitu kurator dan kritikus," katanya kepada GudegNet, Jumat (22/1).
Selain faktor di atas, minimnya apresiasi terhadap seni grafis dinilai karena kebanyakan kolektor dan pecinta seni murni cenderung lebih menyukai karya seni yang hanya diproduksi secara ekseklusif atau terbatas. Sedangkan sebuah karya seni grafis biasanya bisa diproduksi lebih dari satu cetakan atau digandakan dengan menggunakan alat.
Meski demikian, Agus menyatakan optimismenya terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan positif setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.
"Indikasi yang cukup nyata adalah ketika pada pameran Trienale Seni Grafis Indonesia III tahun lalu, seniman grafis muda sungguh bersemangat berkarya pada bentuk kontemporer seni grafis mereka," tegasnya.
Pertanda perkembangan lain adalah adanya kelompok seniman Jogja Taring Padi yang dengan percaya diri mendobrak batas seni tingkat tinggi dengan menggunakan seni grafis. "Mereka berani menggunakan seni grafis sebagai seni publik," ujarnya.
Seni grafis sebagai salah satu cabang dari seni murni memang belum begitu mendapat tempat di masyarakat. Keberadaanya yang memang tergolong masih muda tak pelak kalah dalam hal kepopulerannya dibanding dengan cabang lain dalam seni rupa seperti seni lukis, seni patung, dan seni kriya.
Kirim Komentar