Di dunia ini, akan selalu ada dua hal yang saling bertolak belakang yang seakan tak akan pernah terpisahkan dan akan selalu ada. Ada siang ada malam, ada hitam ada putih, ada susah ada senang, dan ada pahit ada manis.
Pahit dan manis adalah dua hal yang sangat setia menemani perjalanan hidup manusia dalam dunia ini. Bahkan setiap orang pasti pernah merasakan dua rasa tersebut dalam hidupnya.
Hal itulah yang dicoba untuk divisualisasikan oleh tiga orang seniman yang tengah menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Joko Triyoso, I Putu Risnayasa, dan Aji Tejo Wahyu, dalam 18 karya dua dimensi yang dipamerkan pada 6–20 Mei 2010 mendatang di Rumah Budaya Tembi, Jl. Parangtritis, Km. 8,4 Bantul Yogyakarta.
"Selama hidup, kami bertiga mengalami pahit dan manis. Banyak mimpi-mimpi kami yang tidak dapat direalisasikan. Kenyataan yang berbeda dengan impian kami itu, kami coba olah kembali sebagai perupa," ujar salah satu perupa, Joko di Rumah Budaya Tembi, Senin malam (10/5).
Dalam hidup mereka sebagai perupa, segala hal yang terjadi dalam kehidupan mereka pasti tak akan jauh dari dua hal yang saling bertolak belakang seperti pahit dan manis.
"Sesuatu yang pahit dan manis menginspirasi kami untuk membuat sesuatu. Pahit dari sebuah kehidupan itu bisa mendatangkan kemanisan hidup, ucapnya.
Lukisan-lukisan yang ditampilkan Joko lebih banyak bertutur tentang keadaan sosial politik yang ia tuangkan ke dalam parodi. Misalnya saja lukisannya yang berjudul Jumping Class, yang menggambar seorang laki-laki berpakaian peranakan sedang mengendarai motor trail yang sedang jumping.
"Dua hal yang bertolak belakang ini sama juga seperti pahit manis kehidupan," ungkapnya.
Masing-masing seniman yang sedang berpameran ini, memang memiliki bentuk konkrit pahit manis sendiri. Apem, sapaan akrab I Putu Risnayasa, lebih memilih menggambar maestro-maestro seniman dunia, seperti Affandi, Van Gogh dan Leonardi Da Vinci. Sedangkan Tejo, sapaan akrab Aji Tejo Wahyu, lebih mengungkapkan rasa pahit manis secara lebih personal.
Yang menarik dari lukisan Apem, ia tidak hanya menorehkan wajah Affandi atau Van Gogh seperti gaya dia melukis. Sebagai seseorang yang masih belajar dan masih belum menetapkan gaya lukisnya, lantas ia pun melukis Affandi seperti gaya Affandi, yaitu ekspresionis, begitu juga dengan wajah Van Gogh dan Da Vinci.
"Saat ini saya baru dalam tahap mengenal mereka, yaitu lewat wajah. Tapi saya juga pelajari gaya-gaya mereka dan melukis dengan gaya mereka masing-masing. Ini adalah pahit dan manis saya untuk mengenal masing-masing pelukis yang semuanya sudah tiada," jelas Apem yang kelahiran Pujungan, 13 Januari 1991.
Selain teknik, Apem juga mempelajari latar belakang si maestro. Ini tampak pada lukisan gambar Affandi yang berjudul Mata dan Rasa.
"Affandi itu tidak percaya begitu saja dengan penglihatan matanya. Ia selalu menggunakan perasaannya untuk melukiskan apa yang dilihat matanya," jelas Apem.
Setelah melihat gambar maestro, penonton pameran pun diajak ke tempat yang lebih personal lagi. Ungkapan-ungkapan Tejo dalam karyanya adalah hal-hal yang ia alami dalam kehidupan pertemanan, orang yang ia benci atau sukai dan hal-hal yang menyenangkan maupun tidak.
"Ini lukisan yang aku suka. Di sini aku menceritakan teman yang kadang bisa baik di depan mata dan saling membantu, tetapi setelah itu habis manis sepah dibuang," katanya sambil menunjukkan lukisannya yang berjudul Other Side of Friend.
Sebagai perupa yang masih belajar, mereka bertiga juga kerap mengalami pahit manis di kehidupan kampus. Joko pernah menamatkan kuliahnya di Geografi UGM, namun hasrat berkeseniannya membuatnya ingin menimba ilmu di ISI Jogja. Begitu juga dengan Tejo, yang gagal di dua pendidikannya sebelum di ISI Jogja. Meski Apem lebih nyaman menjalani sekolahnya, namun tetap saja ada rasa pahit dan manis yang selalu mampir dalam kehidupan mereka satu per satu.
Kirim Komentar