Yogyakarta, www.gudeg.net - Musim hujan semacam ini sangat mempengaruhi naiknya bibit nyamuk demam berdarah terutama di kawasan negara tropis seperti Indonesia. Informasi terakhir, WHO memberikan keterangan bahwa adalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini kasus demam berdarah naik 30 kali.
Diketahui bahwa dari sekitar 2.5 miliar penduduk dunia terdapat kejadian sekitar 50 - 100 juta kasus setiap tahun yang terjadi lebih di 100 negara terutama negara yang endemis dengan DBD. "Nah, setiap tahunnya ada peningkatan hingga 100 ribu kasus dengan 20 ribu kematian," kata dr. Soroy Lardo, Sp.PD., FINASIM di Fakultas Kedokteran UGM ketika ujian terbuka program doktoralnya.
Secara umum, kasus DBD yang tidak diperhatikan secara detil akan berdampak buruk yakni kematian. Masalahnya, demam dengue sulit dibedakan dengan demam karena virus lain sehingga dapat mengacaukan pengamatan, penyebaran dan upaya pencegahan transmisi virusnya.
Demam berdarah dengue memiliki gejala penurunan jumlah platelet dalam darah di bawah batas minimal, pendarahan spontan, serta kebocoran plasma gradual sehingga dapat menyebabkan syok. "Saat ini belum jelas diketahui mekanisme patogenis DBD maupun dengue shock syndrome," tambah dr. Soroy.
Akhir - akhir ini, telah terdapat beberapa mekanisme yang menerangkan respon autoimun terhadap infeksi virus dengue. "Contohnya seperti molecular mimicry, bystander activation and viral persistence." ungkapnya.
Soroy melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peranan autoimun khususnya antibodi NS 1 terhadap memberatnya DBD. Hasilnya menunjukkan bahwa antibodi NS 1 tidak dapat menjadi prediktor memberatnya DBD. Kendati begitu, anti bodi ini dapat menjadi faktor proteksi terhadap memburuknya klinis DBD.
“Dari hasil modelling memperlihatkan angka trombosit, nilai SGPT, angka leukosit Ig M Anti NS 1 dan Ig G Anti NS1 merupakan prediktor memberatnya DBD,” tutupnya.
Kirim Komentar