Pada Senin, 17 Juli 2017 dilaporkan oleh WHO dan UNICEF bahwa pada tahun 2016, di seluruh dunia terdapat 12,9 juta bayi, atau hampir 1 dari 10 bayi yang tidak diimunisasi. Ini berarti bahwa bayi-bayi ini kehilangan dosis pertama vaksin difteri-pertusis-tetanus (DPT), sehingga mereka tidak kebal dan berada pada risiko serius dari penyakit yang berpotensi fatal ini. Apa yang harus dicermati?
Secara global diperkirakan terdapat 6,6 juta bayi yang telah menerima dosis pertama vaksin DPT, tetapi tidak menyelesaikan seri imunisasi DPT tiga dosis penuh (DTP3) pada tahun 2016.
Di Indonesia, pada tahun 2016 imunisasi dasar lengkap telah diberikan pada 4.337.411 bayi atau 91,1%, dengan Provinsi Kalimantan Utara cakupannya terendah, yaitu pada 8.177 bayi atau hanya 56,1%.
Menurut Dr Jean-Marie Okwo-Bele, Direktur Imunisasi, Vaksin dan Biologis WHO, anak yang tidak diimunisasi dan mengalami hilang peluang, kemungkinan besar juga tidak menerima layanan kesehatan dasar lainnya. Untuk itu, setiap kontak dengan sistem kesehatan, petugas juga harus menganggap sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan imunisasi.
Data menunjukkan, bahwa imunisasi saat ini mampu mencegah 2-3 juta kematian setiap tahun, terkait difteri, tetanus, batuk rejan dan campak. Imunisasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling berhasil dan hemat biaya (most successful and cost-effective).
Sedangkan menurut Dr Robin Nandy, Chief of Immunizations UNICEF, imunisasi adalah salah satu intervensi yang paling perlu disetarakan (the most pro-equity interventions). Imunisasi akan menyelamatkan nyawa anak, sehingga harus dianggap sebagai prioritas utama. Upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan yang terkait dengan status ekonomi rumah tangga, karakter keluarga, dan pendidikan ibu, sangat dibutuhkan di banyak negara.
Lebih dari separuh populasi global tinggal di daerah perkotaan yang kumuh dan berkembang pesat di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Selain anak yang tinggal di Kalimantan Utara, anak dari kaum miskin kota adalah kelompok yang berisiko tinggi tidak diimunisasi, sehingga tidak akan kebal dan berisiko meninggal. Sudahkah kita bertindak bijak?
Disarikan dari “Tidak Kebal” oleh Dr Wikan Indrarto, dokter spesialis anak di RS Siloam @ LippoPlaza dan RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta.
Kirim Komentar