Seni & Budaya

725 Tahun Majapahit: Menyelaraskan Warisan Budaya dengan Kehidupan Kini

Oleh : Trida Ch Dachriza / Selasa, 27 November 2018 16:40
725 Tahun Majapahit: Menyelaraskan Warisan Budaya dengan Kehidupan Kini
Peserta dan pengisi Seminar Peringatan 725 Majapahit Mandala Majapahit (Manma) FIB UGM-Gudegnet/Trida

Gudeg.net — Memperingati berdirinya kerajaan Majapahit 725 tahun yang lalu, Mandala Majapahit (Manma) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Yogyakarta mengadakan Seminar Peringatan 725 Majapahit : Warisan Budaya Majapahit Pelestarian dalam Perspektif Lingkungan, Selasa (27/12).

Di adakan di Auditorium Bulaksumur, seminar ini menghadirkan beberapa narasumber, termasuk Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Ir. Catrini Pratihari Kubontubuh, M.Arch., Profesor Suhardi, perwakilan dari masyarakat muda Mojokerto, Bagus Septyan Tri Pamungkas.

Tujuan terselenggaranya acara ini adalah untuk mengajak masyarakat untuk menjaga situs peninggalan Kerajaan Majapahit, dengan studi kasus kawasan situs Trowulan, Mojokerto.

“Belum ada upaya untuk menyelaraskan unsur lama dan baru dengan lingkungannya. Aspek sosial, budaya, dan politik juga tidak berpihak pada pelestarian. Kini, peninggalan arkeologisnya semakin tergerus pengaruh cuaca maupun bencana alam,” ungkap Catrini.

Selanjutnya ia mengungkapkan bahwa walaupun sudah ada upaya konservasi, namun baru parsial. Padahal, kerajaan yang membawa nusantara pada masa keemasan ini situsnya sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional sejak akhir tahun 2013 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 260/M/2013.

Catrini menyarankan konsep pelestarian yang mengembangkan situs Trowulan sebagai kawasan, bukan hanya mengkonservasi objek bangunan saja.

Pelestarian dengan lingkup kawasan ini meliputi keseluruhan bagian kawasan, yang terdiri dari berbagai objek cagar budaya dalam harmoninya dengan lingkungan dan aktivitas sehari-hari manusia di sekitarnya. Perlu adanya sinergi antar pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk mewujudkan hal ini.

Bagus Septyana, pemuda asli Mojokerto yang terlibat dalam sejumlah agenda pelestarian dan pengembangan Trowulan, mengungkapkan bahwa selama ini upayanya belum disambut baik oleh pemerintahan daerah setempat.

“Jujur, kadang saya merasa kami diperlakukan selayaknya oposisi. Padahal, maksud kami dan yang diinginkan pemda sama, melestarikan situs ini jangan sampai terlupakan dan rusak,” ujarnya.

Dalam seminar ini, Bagus mengungkapkan sejumlah strategi yang ia jalani untuk melibatkan lebih banyak anak muda dalam upaya konservasi ini. Salah satunya adalah memperkenalkan simbol-simbol dan falsafah Majapahit lewat merchandise yang diminati anak muda.

Beberapa warisan budaya kehidupan Majapahit yang masih relevan hingga zaman ini pun banyak ditinggalkan oleh masyarakat setempat.

Masyarakat Trowulan dewasa ini tidak lagi terlalu peduli dengan warisan budaya Majapahit karena mereka tidak merasakan nilai penting dan dampak baik dari warisan yang dimaksud, khususnya secara ekonomi.

Salah satunya adalah produksi bata merah. Memproduksi bata merah tidak lagi dianggap menguntungkan oleh warga setempat. Harga jual yang dianggap terlalu rendah menjadi alasannya.

Imam Mash’ud, salah satu pemberi materi memberi solusi perwujudan ekonomi kreatif. Dengan bahan baku yang sama, masyarakat dapat memproduksi cangkir atau poci, alih-alih batu bata yang dihargai Rp600-Rp1.000/biji.

Dengan merubah bentuk akhirnya, tanah liat merah Trowulan dapat dihargai hingga ratusan ribu per itemnya.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RETJOBUNTUNG 99.4 FM

    RetjoBuntung 99.4 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    ARGOSOSRO FM 93,2

    ARGOSOSRO FM 93,2

    Argososro 93,2 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini