Gudeg.net—Nalarroepa Ruang Seni menjadi tuan rumah pameran bertajuk ‘Un-Idea’ dari 13 Spetember 2019 hingga 26 September 2019 mendatang. Pameran ini adalah pameran bersama tiga belas pelajar perupa yang disatukan dalam lingkar pertemanan yang sama.
Ditempa oleh trauma kegagalan pameran yang sama, keduabelas muda mudi ini semakin terpicu untuk segera berpameran dan saling mempersatukan diri.
“Kami tidak lagi menunggu, mencari dan mengatur satu sama lain harus begini, harus begitu. Terlalu banyak wacana yang muluk,” ungkap Wahyu Adi Santoso, Ketua Pameran ini saat diwawancara saat pembukaan (13/9).
Judul ‘Un-Idea’ sendiri berasal dari kata ‘unity’ dan ‘idea’. Kesatuan dan ide. Mereka memang suatu lingkaran pertemanan yang unik. Lintas disiplin, lintas angkatan, lintas jenjang, bahkan lintas kota.
Ada mahasiswa pasca sarjana, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 2015 hingga 2018, dan bahkan mahasiswa ISI Solo.
Seperti yang ditulis oleh Rifki Aswan dalam tulisan pembukanya untuk pameran ini, penyatuan ide dan tubuh ini bukan berarti homogen, “Kesatuan ini dapat berangkat dari partikularitasnya, kemudian disatukan dalam konsep yang lebih universal.
Setelah disatukan, kata tersebut pun menjadi 'un-idea' dan memiliki makna yang ambigu (tanpa ide). "Tanpa ide karena seringnya saat kami berkumpul bersama kami tidak lagi beride. Kami tidak lagi berpikir bagaimana cara menggambar, hanya terus lakukan saja," jelas Santos, panggilan akrab Wahyu Adi Santoso, lagi.
Keduabelas pameris ini adalah Andi Acho, Alif Edi Irmawan, Bernandi Desanda, Dewa Gede Suyudana Sudewa, Galih Wicaksono, Ignatius Pedo Raja, I Kadek Didin Junaedi, Khoirul Fahmi, Mutiara Riswari, Rangga Aputra, Wahyu Adi Santoso, dan Teguh Sariyanto.
Mutiara Riswari sebagai satu-satunya perempuan di pameran ini menampilkan karya yang feminin. Bunga sebagai kekuatan penyembuh dengan warna-warni yang menurut konstruksi sosial bersifat kewanitaan. Flowers dor Healing Beauty Cry
“Alam untuk saya secara psikologis adalah sesuatu yang menyembuhkan. Warna-warna yang saya pilih terjadi secara spontan,” terang Mutiara.
Dua karyanya bertajuk ‘Flowers for Healing’ dan ‘Beauty Cry’. Karya abstraknya cenderung ke warna dan garis. Seringnya, ia tidak memilih bunga apa yang ia gambar. Semua terjadi dengan spontan.
Lain lagi dengan karya Andi Acho Mallaena, ‘Last Generation’ dan ‘A Warning Code’. Secara visual, karya ini akan menarik perhatian pengunjung yang masuk ke dalam galeri ini.
Acho, panggilan akrabnya, menggunakan medium resin membentuk bunga bangkai dan fetus dalam karya ‘Last Generation’. Masih dengan resin dan cat akrilik, ‘A Warning Code’ adalah biji padi dengan wajah petani, yang membusuk di ujungnya.
Lewat karyanya, ia merespon keadaan sosial di luar sana. “Saya basic-nya biologi. Setelah saya selesai di pasca (ISI) saya tetap memberikan benang merah dengan biologi. Sehingga lahirlah karya-karya visual secara estetika dan mengandung makna kritikan terhadap fenomena-fenomena di luar sana,” jelas Acho.
Karyanya jelas suatu respon terhadap maraknya (dan gampangnya) aborsi ilegal tersedia dan nasib petani dan panennya dengan keadaan yang morat-marit.
Teguh Sariyanto dalam karyanya ‘Tenang Semua Ada Penyelesaiannya’ bercerita tentang apa yang ia alami saat membuat karya tersebut. Judul itu dapat dari kehabisan material saat membuat karya.
“Saya jadi eksplorasi dengan bermacam-macam bahan. Cat-cat sisa, serbuk gergaji, bubuk-bubuk, saya eksplor saja untuk karya ini,” ceritanya sambil tertawa.
Dalam karya ‘Bos Mau Liburan’, karya ini dapat dibilang naif. Dengan penggambaran yang lucu dan banyak elemen-elemen pelengkap/penyeimbang yang tidak memiliki makna berarti. Ada kualitas yang ‘kekanak-kanakan’ dalam karyanya yang dapat membuat kita tersenyum saat melihatnya.
Pameran ini berlangsung di Nalarroepa, Jalan Karangjati Taman Tirto, Kasihan, Bantul hingga 26 September 2019 mendatang.
Kirim Komentar