Gudeg.net-Bulan November mendatang agenda akbar simposium kain tradisional Asia Tenggara, ASEAN Traditional Textiles Symposium (ATTS) ketujuh akan digelar. Tahun ini, Yogyakarta sebagai ASEAN City of Culture mendapat kehormatan menjadi tuan rumah.
Digagas oleh Yayasan Traditional Textiles Arts Society of South East Asia (TTASEA), tema yang dipilih untuk tahun ini bertajuk “Embracing Change, Honoring Traditions”.
“Inti dari temanya adalah merangkul perubahan tanpa meninggalkan tradisi,” ungkap GKBRAA Paku Alam X selaku ketua TTASEA sekaligus wakil ketua 7th ATTS, saat diwawancarai di kediamannya, Pura Pakualaman beberapa saat lalu.
Ia meneruskan bahwa perubahan itu tidak dapat dihindari. Tetapi kita dapat menjaga tradisi dan cara-cara tradisional. Menurutnya, walaupun motif dan teknik pewarnaan berubah, pembuatan kain tradisional harus tetap handmade.
Kegiatan simposium ini secara umum diadakan untuk memperkenalkan wastra (kain tradisional) dari masing-masing negara. Selain itu juga untuk mengedukasi masyarakat mengenai wastra.
Khususnya misi TTASEA adalah untuk memajukan pengetahuan ilmiah tekstil tradisional dalam hal materi, motif, dan teknik.
Selain itu juga untuk memelihara himpunan pencinta tekstil tradisional Asia Tenggara, dan sebagai upaya untuk mengembangkan strategi agar produktivitas dan kualitas pengrajin tekstil Asia Tenggara dapat meningkat.
Tak hanya negara-negara ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Inida, Inggris, Uzbekistan, Australia, dan Cina juga terlibat dalam hajatan besar kain tradisional ini.
Diharapkan dari dibawanya negara mitra dalam simposium ini adalah agar negara ASEAN dapat mengadopsi ilmu dari negara-negara ini. Begitu pula mereka dapat mengenalkan wastra ASEAN di negaranya.
“Kain tradisional itu adalah identitas bangsa. Dari kain kita dapat mengetahui dari mana seseorang berasal. Bukan hanya dari negara mana, tapi juga dari daerah mana di negaranya,” ungkap GKBRAA Paku Alam X lagi.
Pentingnya edukasi, preservasi, dan pengembangan wastra menjadi sorotan penting dalam simposium ini. Usaha pelestarian batik harus dimulai dari bangsanya sendiri. Jika kita mencintai wastra dan memakainya, itu sudah menjadi bentuk pelestarian.
Namun pemakaian batik dengan tepat juga cukup menjadi momok. Karena batik selalu memiliki filosofi yang spesifik, edukasi menjadi penting ditengahkan.
“Saya selalu mengedukasi ibu-ibu PKK dan Dharma Wanita bagaimana dan di mana tepatnya memakai batik. Seperti parang, tidak boleh dipakai pada saat kematian,” jelasnya lebih lanjut. Motif parang sendiri bermakna kebahagiaan dan kemuliaan.
GKBRAA Paku Alam X sangat berdedikasi dalam usaha edukasi dan pelestarian batik. Di Pura Pakualaman selalu ada pelatihan batik. Hasilnya jelek tidak menjadi masalah. Memakai batik buatan sendiri akan membawa kebanggaan tersendiri.
“Saya ingin masyarakat Yogya itu semuanya bisa membatik,” ujarnya sambil tersenyum.
Di Pura Pakualaman sendiri mengembangkan batik yang motifnya diambil dari iluminasi naskah kuno yang ada di Pura Pakualaman. Walaupun jenis motifnya baru, tapi karena diangkat dari naskah yang sudah berabad-abad, jadi masih dianggap tradisional.
Selain menggunakan batik dalam busana, batik juga dapat digunakan untuk lainnya seperti bantal, bed cover, mebel, dan craft. Ini adalah bentuk memodernkan penggunaan batik.
“Ini saatnya kain tradisional disenangi. Handmade itu tidak lekang oleh zaman,” tutur ratu yang membuat sendiri semua kain batik di pernikahan putra sulungnya ini.
Bertambahnya produk batik juga dapt membawa dampak ekonomi yang lebih besar. Kombinasi peluasan pengetahuan akan wastra dan produk batik diharapkan dapat membawa devisa.
Tak hanya batik, ia juga akan membawa lurik sebagai kain tenun tradisional Indonesia. Tak banyak diketahui, lurik juga memiliki makna filosofis yang mendalam dan berbeda-beda di setiap peletakan garisnya.
Contohnya lurik peranakan yang dipakai oleh abdi dalem keraton. Disebut sebagai Lurik Telupat, peranakan ini tidak memiliki bukaan depan melainkan dipakai langsung dari atas seperti halnya kaus oblong.
Dengan menegadahkan kedua tangan ke atas bentuknya seperti meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Juga bermakna kesetiaan.
TTASEA pertama kali diadakan pada tahun 2005 membentuk koalisi sepuluh negara anggota ASEAN yang didukung oleh pakar tekstil nasional maupun internasional.
Simposium ini diadakan tiap dua tahun sekali. Pada tahun 2017 Brunai menjadi tuan rumah simposium ini. Selain simposium, kegiatan TTASEA antara lain field trip, pameran, ekspo, bazar, lomba fotografi, workshop batik, dan call for paper.
Pembicara simposium akan didatangkan dari Universitas Oxford, UCLA Berkeley, Universitas Leiden, Korean National University, Art Gallery of South Australia, Institute of Khmer Traditional Textiles, dan banyak lainnya.
“Harapan saya melalui TTASEA, wastra semakin dikenal agar masyarakat dapat menyayangi warisan budaya ini. Mudah-mudahan dapat menjadikan wastra bagian dari diri kita sebagai bangsa,” tutupnya.
Kirim Komentar