Gudeg.net—Genjrengan gitar yang khas, pogo dance, stage dive, moshing pit, dan teriakan trompet dan trombone. Rasanya elemen-elemen tersebut cukup jelas menggambarkan suasana konser ska yang semarak.
Musik Malam Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Selasa (24/9) kali ini memberi ruang untuk acara Road To Yogyakarta Ska Festival yang diberi tajuk “Mlampah Dados Manunggal”.
Ratusan orang yang didominasi pemuda memenuhi area terbuka TBY. Moshing pit atau area menari konser ska memang terkadang dapat sedikit di luar kontrol dengan aksi body slam.
Penonton yang saling melemparkan badannya masing-masing terkadang dapat menimbulkan friksi. Namun malam itu keadaan cukup terkendali.
Tak henti-henti penonton turut bernyanyi bersama seakan haus dengan keringnya acara ska beberapa tahun belakangan.
“Animonya luar biasa. Saya tidak menyangka bahwa fans ska semakin besar. Apresiasinya luar biasa,” ujar Dian Fakih, vokalis band ska lawas, Apollo 10 saat berbincang selepas acara (24/9).
Apollo 10 sendiri terbentuk sejak 1998 saat musik ska mulai populer di Yogyakarta. Malam itu, sebagai band penutup pre-event acara yang nantinya akan menjadi event ska terbesar di Yogya, Apollo 10 tampil maksimal.
Selain melantunkan lagu bersama dan menari, banyak penonton yang juga naik ke panggung lalu melakukan stage dive, melompat dari panggung ke antara penonton. Dian juga tidak ketinggalan melakukan hal yang sama.
Malam itu Apollo 10 membawakan lagu dari album lamanya seperti ‘Mengudara’, ‘Mataram Berdendang’, ‘Kembali’, dan ‘Nostalgia’.
Selain Apollo 10, band-band penampil lainnya seperti Black Sky, Sri Plecit, Lost Stroom, Kalaskam Buttondown, Kopi Loewak, Social Hitam Putih, dan Sakeplus. Yogyakarta Ska Festival sendiri akan dilaksankan bulan Desember 2019 mendatang.
Kirim Komentar