Gudeg.net - Warga Ambarketawang, Gamping, Sleman melangsungkan upacara adat Saparan Bekakak pada Jumat (18/10). Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan upacara adat Saparan Bekakak dimeriahkan dengan pasukan “Ogoh-Ogoh”, “Genderuwo” dan “Wewe Gombel” selain boneka pengantin yang kemudian disembelih di Gunung Gamping.
Warga yang memenuhi kanan kiri Jalan Wates nampak antusias menyaksikan kirab budaya yang diikuti sejumlah bergada.
Bupati Sleman Sri Purnomo dalam sambutannya yang dibacakan Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun mengatakan, pelaksaan upacara adat Bekakak ini merupakan salah satu wujud nyata dari rasa cinta yang tinggi terhadap kebudayaan setempat.
Ia berharap, upacara ini dapat menjadi wahana untuk mengokohkan falsafah dan tata nilai yang tetap berpijak kuat pada akar budaya, adat dan tradisi yang ada di Kabupaten Sleman.
“Terlebih lagi Upacara Adat Saparan Bekakak ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Ambarketawang. Event upacara adat Saparan Bekakak ini selain bertujuan mengenang kesetiaan salah satu abdi dalem kesayanagan Sri Sultan Hamengku Buwono I bernama Kyai Wirasuta dan Nyai Wirasuta, juga merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan rasa handarbeni terhadap budaya bangsa,” ucap Bupati, Jumat (18/10).
Bekakak dimaknai sebagai korban penyembelihan hewan atau manusia. Sepasang boneka pengantin terbuat dari tepung ketan pada upacara Saparan Bekakak yang disembelih ini merupakan visualisasi pengorbanan Ki Wirosuto dan Nyai Wirasuta yang meninggal terkubur di Gunung Gamping.
Setelah boneka pengantin disembelih di Gunung Gamping, gunungan-gunungan yang diarak kemudian dibagikan kepada warga.
Ditemui sebelum prosesi kirab, Bambang Cahyono, Ketua Panitia mengatakan, kirab dalam upacara adat ini dibagi menjadi 2 rangkaian kirab yakni kirab inti yang terdiri dari bergada prajurit dan bekakak, dan ditutup dengan sepasang genderuwo.
Acara ini tak hanya diikuti oleh orang-orang tua saja tetapi juga banyak anak-anak muda. “Upacara adat ini menggalang rasa persatuan dan kesatuan warga ambarketawang, rasa kegotongroyongan dan juga rasa handarbeni upacara tradisi ini,” ucapnya.
Kirim Komentar