Gudeg.net- Hembusan angin malam yang cukup dingin tidak menyurutkan Risang Yuwono mengarahkan sekitar 30 seniman untuk mempersiapkan pementasan.
Waktu menunjukan pukul 20.30 WIB di Dusun Brayut, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, satu persatu dari mereka mulai menghias wajah dengan alat rias seadanya serta merapikan kostum yang akan dikenakan.
“Malam ini mereka akan pentas dengan formasi lengkap dan membawakan judul Ki Ageng Mangir, mulai dari perjalanan hidup hingga kisah cintanya,” kata Risang Yuwono, Jum'at (29/11) lalu.
Risang Yuwono merupakan Pengurus Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya, dirinyalah yang mengatur segala kebutuhan dan keperluan para seniman.
“Seniman Tobong ini terdiri dari sejumlah orang-orang tua yang sudah main sejak pertama kali Tobong dimainkan namun ada juga anak-anak mudanya, ya tapi tidak banyak,” katanya.
Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya merupakan kesenian drama Jawa tradisional yang pada tahun 1992 di Kediri dengan nama Ketoprak Sri Budoyo.
Kelompok seni ini sempat berganti sejumlah nama menyesuaikan kondisi yang ada seperti tahun 1994 menjadi Ketoprak Candra Kirana.
Merekapun mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya seperti Kediri, Magetan, Cepu, Ngawi, Nganjuk, dan Tulungagung namun akhirnya memutuskan untuk menetap di Yogyakarta.
Kata Tobong berasal dari bahasa Jawa yang berarti bangunan tidak permanen yang terbuat dari bambu dan material lainnya. Tobong biasanya digunakan kelompok seni pertunjukan tradisional, seperti ketoprak, untuk mementaskan lakon-lakonnya.
Perjalanan Ketopak Tobong tidak semulus permainan para senimannya, pada tahun 1999 mereka sempat tidak melakukan pementasan karena berbagai kendala.
Namun ditengah kevakuman, tahun 2000 datang seorang pria bernama Dwi Tirtiyasa yang memang menaruh perhatian khusus pada kesenian ini. Mulailah Tobong kembali menggelar pementasannya.
Dwi Tirtiyasa dapat diikatakan pahlawan bagi Tobong karena sejak itu seluruh keperluan para pemain mulai dari kebutuhan pentas hingga biaya hidup dibiayai oleh dirinya.
“Dulu bapak yang ngidupin kembali Tobong ini, dananya ya kita berusaha cari sama-sama, dari kantong bapak sendiri hingga galang donasi karena bapak bukan termasuk orang sugih namun dia yakin pada Tobong ini pasti akan tetap ada,” cerita Risang yang merupakan putra dari Dwi Tirtiyasa itu.
Kelompok kesenian Tobong ini adalah satu-satunya seni ketoprak yang masih eksis keberadaannya hingga saat ini walau berada ditengah pasang surut penampilan.
“Kami pernah berada pada titik nadir di tahun 2010, dimana lambat laun penonton mulai menyusut bahkan pernah kami hanya ditonton oleh 10 orang. Disitulah kami pernah menggelar aksi pamitan dengan mempersembahkan pementasan dengan judul Pamit Mati di Alun-alun Utara Kraton,” cerita pria berperawakan tinggi itu.
Setelah pementasan Pamit Mati ternyata terdapat perubahan, banyak sejumlah penonton atau seniman lainnya menyemangati dan berharap Ketoprak Tobong tidak tutup akan tetapi bangkit kembali.
Malam bertambah larut dan pementasan Ki Ageng Mangir telah memasuki babak pertengahan drama. Musik pentatonis gamelan yang mengiringi perlahan bertambah meriah.
Pementasan semakin hangat ketika dua pemain yang merupakan transgender tampil menghibur di tengah pertunjukan drama.
Pementasan pun tampil dengan interaktif, para pemain mengajak penonton untuk berinteraksi. Mereka menanyakan tentang hiburan yang ditampilkan oleh dua pemain transgender tersebut.
“Wah kui bancine kurang goyang, ayo goyang meneh (itu bancinya kurang joget, ayo joget lagi),” ujar penonton sambil tertawa.
Tak pelak gelak tawa dan riuh rendah tepuk tangan menggema di panggung yang tidak terlalu besar dan terbuat dari anyaman bambu serta tambalan-tambalan seng.
Melihat suasana yang terbangun dengan baik terlebih penonton pun terhibur, Risang tampak tersenyum puas di pojok panggung.
“Saya senang bila pertunjukan kami ini menghibur para penonton, oleh karennya diperlukan inovasi atau bahasanya nyelip-nyelipke lelucon seperti yang Inces (salah satu pemain transgender) lakukan tadi,” ungkapnya dengan wajah ceria.
Menurut Risang sejak pertama kali, Ketoprak Tobong tidak mematok harga tiket sebagaimana semestinya pementasan, mereka hanya menaruh sebuah kotak untuk donasi.
“Tidak ada kami menjual tiket, yang ada cuma kotak yang ditaruh didepan pintu masuk. Silahkan saja memasukan berapapun, kami ikhlas meneriman jumlahnya. Kadang kami ya nombok, tapi dirasakan bareng,” tuturnya.
Pukul 00.30 WIB akhirnya pementasan drama tradisional dengan 5 babak dan berdurasi hampir tiga jam dengan judul Ki Ageng Mangir itupun usai.
Seluruh pemain keluar dari pembatas layar merah untuk memberi hormat kepada penonton yang sudah hadir malam itu.
Risang berharap Kesenian Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya dapat terus dirawat agar tetap eksis dan lestari ditengah gencarnya perkembangan teknologi saat ini.
“Misi kami melestarikan budaya Ketoprak Tobong yang telah ada puluhan tahun ini, jangan sampai tergerus jaman dan marilah para kaum millenial datang, pelajari kesenian ini atau hanya sekedar menontonpun tidak apa, kami sudah senang,” harapnya.
Kirim Komentar