Gudeg.net—Memoar dan rekam peristiwa bom Bali di tahun 2002 banyak bertebaran di luar sana. Semua berusaha menceritakan kronologi, sebab-akibat, dan bahkan romantisasi dari apapun yang berhubungan dengan bom Bali.
Ignatius Bambang Shakuntala menceritakan kisahnya—bukan tentang peristiwa bom Bali I—tetapi bagaimana peristiwa yang memakan ratusan korban jiwa tersebut menjadi angin pusar yang menyeret hidup dan nasibnya.
Novel yang diberi judul “Mengejar Angin Pusar” ini menceritakan banyak kejadian yang tidak kita temukan di media massa manapun yang memberitakan peristiwa ini 18 tahun lalu.
Ada banyak detail kecil dan fakta-fakta yang dapat membuat kita berpikir kembali dan mengkaji bagaimana peristiwa, korban, dan terdakwa bermain dalam persepsi kita.
Bahkan tanpa ‘bumbu-bumbu’ fakta yang tidak diketahui tentang bom Bali itupun, kisah Bambang sendiri adalah suatu hal yang menarik.
Bagaimana seorang pelukis wajah jalanan di Jalan Malioboro bisa terlibat dengan kepolisian, bahkan interpol dalam menangani kasus yang mencengangkan dunia?
Lexy Rambadeta, jurnalis video dokumenter peliput tragedi bom Bali yang hadir secara virtual dalam perilisan novel tersebut mengatakan bahwa ia tidak merasa buku ini sebagai novel, namun sebuah perjalanan pribadi. Suatu bentuk jurnalisme sastrawi.
“(Ada) Sejarah-sejarah besar yang terjadi di Indonesia yang masih sangat faktual, masih sangat penting dibicarakan hari ini dan juga berhubungan dengan politik internasional, tetapi dengan cerita personal yang belum pernah didengar, dibaca oleh orang lain. Hal ini memperkaya apa yang saya alami juga,” kata Lexy mengenai novel ini.
Bambang mengaku bahwa ia menulis novel ini karena ia merasa peristiwa itu adalah monumen di mana ia memiliki kisah dalam peristiwa tersebut, dan kisah tersebut hanya miliknya.
“Sehingga ketika itu saya simpen hanya di file komputer saja, nanti saya takut lama-lama cuma nganggur. Lalu hilanglah cerita-cerita itu,” katanya Bambang saat peluncuran bukunya di Kabar Baik Eatery (KBE), Senin (12/10).
Ia senang ketika orang merasa bingung dengan status fiksi/nonfiksi novel ini. Ia memang sengaja menulis kisahnya dalam bentuk novel karena merasa lebih ada banyak kebebasan saat ia menulis kisahnya.
Bambang mulai menulis novel ini di tahun 2007. Ia membuat dan menyimpan catatan kronologi per hari selama ia terlibat sehingga mudah untuknya mengingat kembali rangkaian peristiwa yang ia alami.
Ia mencatat siapa yang ia temui setiap hari dan apa topik peristiwa di hari tersebut. Ia mulai mendengarkan suara orang lain, entah itu suara saksi, suara politik, masyarakat. “Nah, disitulah kita bisa menangkap hal-hal yang tidak ditangkap oleh orang lain,” katanya lagi.
Menurut Bambang, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua bertautan satu sama lainnya. Ibarat mencari jarum di tengah tumpukan jerami, yang harus ditemukan lebih dahulu adalah di mana tumpukan jerami itu berada.
“Untuk itulah alam semesta menghubungkan semua materi yang eksis dalam sebuah pusaran energi,” kata Bambang saat berbincang dengan Gudegnet selepas peluncuran bukunya.
Hal ini juga ditulisnya di bagian belakang bukunya. Sebagai orang yang sangat spritualis—walaupun ia tidak mendefinisikan dirinya demikian dan mengaku tidak tahu apa dan bagaimana spiritual itu—ia memegang teguh kepercayaannya atas hal ini.
Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, ia bercerita tentang perasaannya dan kejadian-kejadian dalam buku tersebut, bagaimana serangkaian peristiwa yang acak tiba-tiba saling bertautan, dan terkadang tautan tersebut terjadi setelah berhari-hari bahkan bertahun-tahun kemudian.
Buku ini awalnya akan diberi judul “Bumi Bulat”. Namun, ia merasa judul tersebut tidak tepat. Ia teringat hal yang dikatakan oleh ayahnya saat sakit, satu tahun sebelum ia terlibat dengan peristiwa bom Bali.
“Sesuk nek ono lesus, kowe bakal kegowo ning endi-endi (besok kalau ada angin pusar, kamu akan terbawa ke mana-mana),” kata ayahnya. Saat itu Bambang menganggapnya sebagai lanturan orang sakit.
Serangkaian angin pusar lainnya pun muncul dalam hidup Bambang sejak dia menapakkan kaki di Bali untuk pertama kalinya pada tahun 2002 lampau. Dua minggu sebelum dicetak ia mengganti judul novelnya menjadi yang kita ketahui saat ini.
Novel “Mengejar Angin Pusar” dijual seharga Rp115.000, sepaket dengan kaos. Untuk mendapatkannya, bisa menghubungi Aditya Anggar di 0813 2885 6996.
Kirim Komentar