Gudeg.net—Pameran ‘Harmoni Cina-Jawa dalam Seni Pertunjukan' dibuka untuk umum mulai hari ini, Jumat (26/2) di Museum Sonobudoyo Gedung Eks KONI, Jalan Pangurakan No.4, Ngupasan, Yogyakarta.
Sejumlah koleksi museum dipilih, dinarasikan kembali, dan disajikan ke publik untuk menengok perjalanan kehidupan budaya Jawa dan Cina di Yogyakarta, khususnya dalam hal seni pertunjukan.
Ada enam seni pertunjukan yang ditampilkan dalam pameran ini; Srimpi Muncar, Beksan Golek Menak, Kethoprak, Samsi/Barongsai, Wayang Potehi, dan Wacinwa (Wayang Cina Jawa).
Srimpi Muncar dan Beksan Golek Menak merupakan tari klasik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Wacinwa sendiri merupakan koleksi masterpiece di pameran ini.
Keenam seni pertunjukan ini merupakan bukti bahwa akulturasi budaya Cina dan Jawa berlangsung dengan baik dan sangat mulus.
“Masyarakat sekarang bisa berkaca pada masa lampau bahwa khususnya Yogyakarta sangat terbuka dengan kedatangan etnis-etnis dari luar Jogja,” ujar Ery Sustiyadi Kasi Koleksi, Konservasi, dan Dokumentasi Museum Sonobudoyo kepada Gudegnet di sela-sela pembukaan pameran.
Dengan caranya masing-masing, keenam kesenian ini menunjukkan bagaimana pengampu kesenian Jawa dan Cina tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga berbagi, memberi, dan menerima unsur budaya masing-masing.
Kedua tari yasan dalem (atas prakarsa raja); Srimpi Muncar/Cina dan Beksan Menak merupakan hasil serapan budaya Cina dan Jawa. Dalam kedua tarian ini ada tokoh putri Cina, Putri Adaninggar. Pengaruh budaya Cina pun dapat dilihat di busana, riasan, dan gerakan.
Seni pertunjukan ketoprak lakon ‘Sudiro’ yang dipamerkan dalam ‘Harmoni Cina-Jawa’ merupakan cerita Cina yang disadur ke dalam pertunjukan Jawa. Nama Sudiro merupakan nama versi Jawa dari nama dan cerita Sie Jin Kwi.
Wacinwa hanya ada dua set di dunia. Set Sie Jin Kwi Ceng Tang yang dimiliki oleh Museum Sonobudoyo, dan Set Sie Jin Kwi Ceng See yang berada di Universitas Yale, Amerika Serikat.
Gan Thwan Sing (1885-1966), pencipta Wacinwa, merupakan seorang peranakan Tionghoa yang dilahirkan di Jatinom yang sangat mencintai wayang Jawa. Ia biasa menonton pertunjukan wayang semalam suntuk.
Ia pindah ke Yogyakarta pada awal abad ke-20. Merasa pengetahuannya tentang seni pedalangan sudah cukup, Gan Thwang Sing membuat bentuk baru wayang kulit.
Ia memadukan legenda Tiongkok klasik yang digunakan sebagai materi cerita atau lakon wayang. Tata cara pertunjukannya pun mengikuti wayang Jawa.
Naskah lakon ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa dan diiringi dengan gamelan Jawa, lengkap dengan niyaga dan pesinden. Gan Thwang Sing memiliki satu orang anak laki-laki yang tidak mewarisi ilmu dalang Wacinwa.
Namun, ia sempat mendidik empat dalang Wacinwa; Kho Tian Sing atau Mbah Menang, Raden Mas Pardon atau Raden Mas Gondomastuti, Megarsemu, dan Pawiro Buwang. Sayangnya keempat murid ini justru meninggal lebih dahulu.
Dewasa ini hanya ada satu dalang Wacinwa di dunia, Ki Aneng Kiswantoro. Ia memainkan cerita Sie Jin Kwi dengan Wacinwa buatannya sendiri yang ukurannya lebih besar daripada wayang aslinya.
Pameran dapat disaksikan 26 Februari-27 Maret 2021 di Gedung Pameran Temporer (Gedung Eks KONI) Museum Sonobudoyo pukul 09.00-21.00 WIB. Pameran gratis dengan menjalankan protokol kesehatan.
Kirim Komentar