Seni & Budaya

'Daily Performance' Artjog 2021, Kisah Sang Ekalaya dalam Pertunjukan Wayang Ukur

Oleh : Trida Ch Dachriza / Kamis, 26 Agustus 2021 20:40
'Daily Performance' Artjog 2021, Kisah Sang Ekalaya dalam Pertunjukan Wayang Ukur
Adegan Sang Ekalaya saat ditantang oleh Resi Drona untuk memotong ibu jari tangannya agar dijadikan murid-Gudegnet/Trida

Gudeg.net—Artjog 2021 masih eksis di tengah pandemi. Meneruskan tema triloginya, “Arts in Common”, Artjog kembali menampilkan program Daily Performance di Pendapa Ajiyasa, Jogja National Museum (JNM).

Penampilan Jumat (20/8) lalu menampilkan Wayang Ukur yang dipersembahkan oleh Yayasan Wayang Ukur Sukasman dengan lakon “Penyesalan” (Remorse).

Lakon ini bercerita mengenai seorang ksatria muda setelah melewati berbagai runtutan peristiwa dan pengambilan keputusan yang membawanya pada penyesalan.

Diceritakan dalam epos Mahabharata, ada seorang ksatria muda dari Negara Paranggelung, Sang Ekalaya namanya. Dia sangat mengagumi sesosok guru, tak lain adalah Resi Drona.

Ekalaya, yang juga dikenal dengan nama Pagulnadi, tenggelam dalam obsesinya untuk menjadi murid Resi Drona dan mengalahkan Arjuna sebagai prajurit pemanah terbaik.

Lika-liku kisah perjuangan Ekalaya erat kaitannya dengan perjalanan penting dalam kehidupan Ki Sukasman.

Wayang Ukur adalah karya monumental ciptaan Sukasman yang tidak sekedar menggubah Wayang Kulit Purwa, tetapi juga memberi nilai tambah pada segi seni rupa dan seni pertunjukan wayang.

Bentuk, gestur, dan stilasi Wayang Ukur jauh lebih berani dibanding Wayang Kulit Purwa, sehingga karakter-karakter Wayang Ukur lebih mudah dibedakan satu dengan yang lain.

Pertunjukan Wayang Ukur pun tidak seperti pertunjukan Wayang Kulit Purwa. Jika pertunjukan Wayang Kulit Purwa memisahkan pertunjukan wayang dengan bayangan, maka pertunjukan Wayang Ukur justru menyatukan pertunjukan wayang dan bayangan dalam satu tangkapan pemandangan.

Sigit Sukasman (1937-2009) adalah pribadi sederhana dibalik penciptaan Wayang Ukur. Kisah hidupnya diwarnai dengan penolakan, kemarahan, dan keputusasaan.

Kerja keras dan pengabdian menjadi penghiburannya. Ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk menyingkap rahasia tersembunyi dibalik indahnya wayang. Ia bukan seorang dalang, bukan dari keluarga dalang, tetapi dia akrab dengan seni karena ia merupakan putra dari pengusaha batik.

Atas segala kerja keras dan pengabdiannya, pada tahun 2011 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya Bintang Budaya Parama Dharma, tanda kehormatan yang tertinggi dalam bidang kebudayaan.

Pertunjukan yang hanya dapat dihadiri dengan undangan ini menampilkan Wayang Ukur beserta yang menampilkan tari dengan musik live. Dialog pun disampaikan secara live oleh aktor suara yang berada di samping panggung. Blencong pun digantikan oleh tata cahaya modern. 

Panggung Wayang Ukur tidak seperti pertunjukan wayang pada umumnya. Mbah Kasman, begitu Sukasman biasa disebut, melakukan perluasan panggung, di belakang dan di depan kelir. Panggung ini dipakai untuk penampilan tari tersebut.

"Kebaruan di dalam seni pertunjukan yang dilakukan oleh Mbah Kasman adalah sebuah proses yang saya istilahkan (sebagai) demokratisasi dalang," ungkap Dr. Gregorius Budi Subanar, dari Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam video 'Kajian Seni Pertunjukan Wayang Ukur: Wayang Ukur Sigit Sukasman Dalam Perspektif Seni Pertunjukan'.

Dalam pertunjukan wayang kulit biasa, dalang adalah pemain tunggal, didukung oleh para wiyaga dan sinden. Semua yang ada di dunia kelir adalah wilayahnya dalang.

Dalanglah yang akan mengucapkan mantra. Mantra Dalang adalah mantra baik, mantra keselamatan, mantra yang diucapkan untuk keselamatan dan keberhasilan pentas wayang kulit.

Oleh Mbah Kasman, mantra tersebut dihadirkan dalam bentuk sepasang ular di panggung. Mantra dalang oleh Mbah Kasman dibongkar menjadi visual.

Dalang tidak lagi menjadi penguasa tunggal. Bahkan peran dalang pun masih dibagi-bagi. Ada kelompok dalang yang memainkan wayang, dan satu kelompok dalang yang melafalkan percakapan, biasanya disebut ontowacono. Dalang yang memainkan wayang biasanya dua atau tiga; satu di depan kelir, dua di belakang kelir.

Tak hanya itu, adegan disela dengan monolog aktor yang memberikan sentilan, penilaian, dan sedikit narasi dari kejadian yang terjadi.

Pertunjukan ditonton oleh undangan dengan jumlah yang sangat terbatas, dengan menjalankan protokol kesehatan.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    GCD 98,6 FM

    GCD 98,6 FM

    Radio GCD 98,6 FM


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    ARGOSOSRO FM 93,2

    ARGOSOSRO FM 93,2

    Argososro 93,2 FM


    JOGJAFAMILY

    JOGJAFAMILY

    JogjaFamily 100,9 FM



    SONORA YOGYAKARTA

    SONORA YOGYAKARTA

    Sonora 97,4 FM Yogyakarta


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini