Gudeg.net- Jelang malam puluhan orang mulai memadati pelataran Pondok Wayang Ukur seiring dengan dimulainya acara mengenang 10 tahun kepergian Sang Maestro Wayang Ukur Ki Sigit Sukasman, Rabu (16/10).
Terlebih ketika tiga orang warga negara asing (wna) berpakaian tradisonal Jawa mencuri perhatian para pengunjung yang terdiri dari kerabat dan warga sekitar Pondok Wayang Ukur yang terletak di Jalan Mergangsan Kidul MG 11.
Tiga orang wna tersebut merupakan pelajar yang berasal dari Amerika Serikat, mereka mengikuti sebuah program Cross Culture yang digagas oleh salah satu pengurus Pondok Wayang Ukur.
Adalah Safanna, Enzo dan Chriss, mereka menampilkan sebuah tarian dengan judul Nawun Sekar sebagai pembuka acara.
Dengan gemulai Saffana dan Enzo menari secara berpasangan, terlihat mereka sangat menghayati setiap gerakan dari Tarian Nawun Sekar.
“Saya sangat senang bisa ambil bagian dari acara ini, karena dengan acara ini saya bisa belajar banyka hal terutama kebudayaan Jawa seperti menari dan main wayang,” ujar Saffana.
Bagi Saffana, mempelajari budaya Jawa merupakan kesempatan yang sangat langka dan dirinya beserta kedua temannya langsung menerima tawaran untuk menari pada acara ini.
“Kami langsung menerima tawaran dari Mbak Putri (pengajar tari) karena pada dasarnya kami juga sangat ingin mempelajarinya,” tutur Saffana saat diwawancara.
Perwakilan Pondok Wayang Ukur Yoyo mengatakan, pada walanya tidak mengingnkan adanya acara sebesar ini, hanya doa dan mengenang saja untuk Pak Kasman.
“Dengan banyaknya permintaan dari para kerabat dan teman-teman Pak Kasman, akhirnya dibuatlah acara Perayaan Spirit Sigit Sukasman dengan sedikit lebih formal ini dan lengkap dengan tarian dari teman-teman Cross Culture,” ujarnya.
Yoyo menjelaskan, Ki Sukasman merupakan Maestro dari Wayang Ukur yang telah mendapatkan bintang penghargaan bidang budaya dari Pemerintah Indonesia. Penghargaan Paramadarma Budaya yang terima Ki Sukasman merupakan penghargaan tertinggi pada seseorang yang telah mengabdikan dirinya pada bidang kebudayaan sebagai tradisi luhur.
“Walau telah menerima bintang penghargaan, Ki Sukasman tetap rendah diri dan tetap mengembangkan Wayang Ukur sebagai budaya Yogyakarta kepada para generasi muda atau milenial hingga akhir hayatnya,” jelas Yoyo.
Wayang Ukur atau Wayang Pakeliran adalah seni wayang yang menampilkan banyak unsur diantarannya memadukan unsur-unsur seni tari, teater, gamelan, dan seni sastra yang tidak lagi tunduk pada konvensi tradisi.
Serta penambahan Lampu ‘blencong’ yang menjadi senjata utama menghidupkan bayang-bayang dirombak dengan memasang puluhan lampu warna – warni dibalakang layar.
Acara yang dikemas dengan santai ini juga menghadirkan sejumlah kegiatan diantaranya sarasehan yang mengangkat tema Pelestarian Wayang Ukur.
Mendekati pukul 00.00 WIB ditampilkan pementasan Wayang Ukur dengan judul Agastiya yang berarti Dewa Bertubuh Manusia.
“Kami mengimplementasikan Agastiya adalah Ki Sukasman, dimana atas jasa beliaulah Wayang Ukur yang berbeda dengan wayang lainnya dan jarang sekali dimainkan bisa tampil dan menghibur khalayak ramai,” ungkap Yoyo.
Pementasan Wayang Ukur dibawakan oleh empat orang dalang sekaligus diantaranya Ki Mardoko, Ki Sudras, Ki Andi dan Ki Harno.
Acara ditutup dengan ritual menabuh gending tertua milik Ki Sukasman dan diakhiri dengan ritual doa Mulyo Raras demi mengenang 10 tahun kepergian Maestro Wayang Ukur Ki Sukasman.
Kirim Komentar