Gudeg.net- Berbagai persiapan pementasan Wayang Ukur mulai dilakukan oleh para seniman yang bernaung pada Sanggar Wayang Ukur Ki Sigit Sukasman.
Rencananya wayang ukur akan dipentaskan pada sebuah pagelaran di bulan Agustus tahun 2020 mendatang di Taman Budaya Yogyakarta.
Sanggar yang berada di Mergangsan Kidul Mg II 1328, Wirogunan, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta ini mulai kembali menata satu persatu bagian dari Wayang Ukur yang diwariskan Ki Sukasman. Salah satunya adalah proses penciptaan cahaya pementasan yang dianggap perlu ada perbaikan.
Salah satu dalang yang merupakan murid terakhir dari almarhum Ki Sukasman yaitu Ananto Wicaksono mengatakan, tata cahaya adalah unsur cukup penting pada pementasan Wayang Ukur.
“Wayang Ukur itu seni Pakeliran (layar) dimana layar sebagai media permainan cahaya yang mendukung pementasan wayang dalam cerita,” ujar Ananto Wicaksono disela-sela Workshop Persiapan Wayang Ukur, Selasa (12/11).
Ananto menuturkan, permainan cahaya atau lighting pada wayang ukur menjadi bagian yang sangat penting karena sebagai penguat karakter lakon cerita. Cahaya adalah unsur yang menjadikan wayang ukur menjadi bentuk tiga dimensi.
“Semakin beragam warna cahaya yang dihadirkan maka tiga dimensi penguat wayang ukur akan tambah keluar, penguat karakter dan emosi atas tokoh wayang yang dimainkan memperjelas suasana lakon yang sedang diceritakan oleh seorang narator,” tuturnya.
Pementasan Wayang Ukur adalah perpaduan dari seni pertunjukan, orkestra dan wayang bahkan Wayang Ukur dibawakan oleh tiga orang dalang. Ketiga dalang tidak bercerita akan tetapi ada narator yang membawakannya serta dilengkapi dengan satu set penari yang akan menari dibelakang kelir (layar).
“Wayang ukur tidak seperti pada wayang biasanya, di mana pementasan wayang dibawakan satu dalang sebagai pembawa cerita sekaligus memainkan wayang. Lakon cerita pementasan dari awal sampai akhir dibawakan oleh narator,” jelas pria yang akrab dipanggil Nanang Dalang Wayang Kancil itu.
Pencipta Wayang Ukur Ki Sigit Suksaman merupakan peraih penghargaan Budaya Parama Darma 2011 yang memiliki ketidakpuasan dengan kemapanan suatu tradisi wayang Jawa.
Baginya, Wayang Ukur bukanlah wayang Jogja ataupun wayang Solo. Akan tetapi wayang yang mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak menghilangkan pakem, nilai moral dan pesan yang ada dalam pewayangan.
“Ki Sukasman menciptakan wayang ukur agar dapat diteruskan oleh para generasi selanjutnya seperti kaum milenial saat ini. Dan itu terbukti dari sejumlah pementasan wayang ukur yang dibawakan oleh kaum milenial di Yogyakarta,” ungkap Nanang.
Nanang sebagai murid terakhir Ki Sukasman berharap, Wayang Ukur dapat terus dimainkan agar tetap lestari dan tidak putus tergerus jaman.
Kirim Komentar