Gudeg-net- Hari terbilang masih cukup pagi, 06.30 WIB namun Desa Ngrangkah, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, yang terletak dii lereng Gunung Merapi tampak sudah cukup ramai.
Sejumlah warga berjalan kaki sambil membawa tenong atau tempat makan dari bahan almunium menuju Masjid At-Taubah Mandiri.
Tenong tersebut berisikan aneka rupa makanan dan minuman seperti nasi, ketan, ayam ingkung, sayur, lauk pauk, tempe tahu, jajanan pasar dan lainnya.
Setelah menaruh tenong di pelataran masjid, warga yang terdiri dari anak muda, orang dewasa, anak-anak dan sesepuh desa berjalan menuju kompleks Makam Eyang Amongrogo.
Mereka akan melakukan tradisi Sadranan atau Nyadran. Tradisi ini selalu dilakukan menjelang masuknya bulan suci Ramadan.
“Sekarang ini tanggal Ruwah (kalender Jawa) dan hari ini waktu yang tepat untuk mendoakan para leluhur atau kerabat yang sudah wafat sebelum kita masuk bulan puasa,” ujar Juru Kunci Makam Eyang Amongrogo, Mbah Setyo Magunkaryo di Masjid At Taubah Mandiri, Jumat (9/4).
Walaupun hawa masih cukup terasa dingin, tidak menyurutkan semangat warga untuk berjalan bersama melewati dua lembah untuk sampai ke makam yang berisikan sanak keluarga warga sekitar desa yang telah meninggal dunia. Makam Eyang Amongrogo berjarak sekitar kurang lebih 1 Km dari masjid.
Lokasi makam cukup unik yaitu berada di sebuah lembah yang dikellingi pepohonan besar terutama pohon bambu. Terbilang cukup terpencil dengan jalan setapak tanah namun terdapat ratusan makam dengan ciri khas nisan tempo dulu di dalamnya.
Seluruh waga mulai membersihkan makam dari kotoran seperti lumut dan daun-daun yang berserakan setelah itu mereka berdoa dan menaburkan bunga sebagai tanda bakti.
“Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil, kalau menurut orang terdahulu, tradisi Nyadran ini sudah ada sejak pertama kali desa ini berdiri yaitu sekitar tahun 1700an,” jelasnya.
Tidak sedikit warga yang terlihat sedih dan menangis pada saat membersihkan makam leluhur mereka namun untuk mendoakan inilah tujuan mereka datang.
Selain warga ada juga beberapa sesepuh yang dipercayai mampu sebagai perantara doa kepada para leluhur. Ketika doa hendak dipanjatkan, sesepuh tidak lupa membakar dupa atau kemenyan sebagai syarat doa.
Tak ayal asap kemenyan mengepul ke udara, masuk ke celah-celah sinar mentari yang mulai meninggi, membuat suasana sakral dan khidmat kian terasa.
Bambang seorang warga Kinahrejo mengatakan, Nyadran selalu dilakukan di makam kakek dan nenek yang telah meninggal sekitar 10 tahun lalu.
“Saya tiap tahun Nyadran ke sini tapi tahun lalu tidak, karena memang nyadran tidak ada dan tidak hanya pas mau puasa saja, terkadang saat keluarga rindu dengan yang telah wafat, ya kami ke sini untuk berdoa atau sekedar bersih-bersih makam,” kata dia.
Waktu telah menunjukkan sekitar pukul 08.00 WIB, dan hampir seluruh warga telah selesai melaksanakan tradisi Nyadran dan mereka kembali ke masjid untuk makan bersama.
Sepanjang pelaksanaan tradisi Sadranan seluruh warga tertib akan protokol kesehatan Covid-19. Hal tersebut terlihat dari hampir keseluruhan warga menggunakan masker pelindung wajah.
Kirim Komentar