Gudeg.net - Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM mengadakan Southeast Asia Conference on Media, Art, and Cinema (SEA-MCA) 2021 pada 4-5 Oktober 2021.
Konferensi Online se-Asia Tenggara hari pertama ini dilaksanakan dengan satu keynote speaker dan tiga sesi panel dengan tema “Rediscovering Southeast Asia Amidst It’s Multi-Layered Burdens".
SEA-MCA 2021 diikuti oleh lebih dari 150 peserta dengan 79 pembicara dari beragam akademisi dan seniman dari Indonesia, Filipina, Thailand, Hongkong, dan Singapura.
“Dengan adanya konferensi ini, diharapkan mampu melihat Asia Tenggara sangat dinamis melalui topik-topik yang membumi. Selain itu, melalui konferensi ini kita juga bisa memaparkan hasil riset dinamika sosial dan kebudayaan masyarakat di Asia Tenggara” tutur direktur PSSAT UGM Hermin Indah Wahyuni (4/10) dalam keterangan tertulis yang diterima Gudegnet, Senin (4/10)
Konferensi dibuka dengan pemaparan dari Prof Maria Serena Icasiano Diokno sebagai keynote speaker. Profesor Universitas Philippine Diliman tersebut memparkan tentang tantangan dan kesempatan yang dihadapi oleh warga di Asia Tenggara dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama di masa pandemi seperti ini.
Prof Maria juga menyoroti tentang keragaman yang ada di antara negara-negara di Asia Tenggara. “Ada yang perlu ditingkatkan dalam hubungan antar negara di asia tenggara; setiap negara di asia tenggara perlu mengadakan kajian terhadap negara-negara lain di asia tenggara untuk menghindari eksklusivitas. Keanekaragaman merupakan nilai tambah bagi kami” tuturnya.
Sesi panel pertama mengangkat tema “The Fate of Journalism in The Region: Between Freedom, Security and Responsibility”. Sesi ini membahas tentang Jurnalisme dan kaitannya dengan kebebasan, keamanan dan tanggung jawab. Sesi ini turut diisi oleh dosen Ilmu Komunikasi UGM Gilang Desti Parahita, S.IP.,M. A, jurnalis senior Evi Mariani Sofian, dosen Jurnalisme Universitas Hong Kong Baptist Professor Cherian George. Sesi ini dimoderatori oleh dosen Ilmu Komunikasi UGM Mufti Nurlatifah S. IP., M.A.
Evi Mariani mengatakan, digitalisasi membuka jalan bagi pengusaha untuk membuka media dan membuka pasar baru dan luas. Evi juga bertutur tentang bagaimana pandemi menghantam media dengan keras. Ia memaparkan, banyak kantor berita yang harus tutup, pemotongan tenaga kerja, dan banyak jurnalis yang beralih karier akibat pandemi.
Sesi panel kedua mengangkat tema “Envisioning New Landscape of Southeast Asian Cinema”. Sesi ini diisi oleh Budi Irawanto S. IP., M. A., Ph.D kepala program doctoral Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM, Kamila Andini sutradara film Indonesia, Thomas Barker, Ph.D ketua Media, Bahasa, dan Budaya di Nottingham University Malaysia, dan dimoderatori oleh Aninda Dewanti, S. IP., M. Sc dari ISEA-Yusof Ishak Institute.
“Seni tidak hanya untuk keindahan saja. Tetapi seni juga memiliki makna yang lebih dalam. Seni berperan untuk menyuarakan yang tidak bersuara” tutur Budi Irawanto.
Sesi panel ketiga mengangkat tema “Art(ist) and Change on the Scene of Crisis”. Melalui panel ini dijelaskan tentang bagaimana seni juga memiliki kekuatan untuk mendorong dinamika perubahan sosial politik di Asia Tenggara.
Sesi ini diisi oleh Dr. Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang dosen Antropologi UGM, Dr. Eko Supriyanto S..Sn., M. F. A Institute Seni Indonesia Surakarta, Gridthiya Gaweewong artist director di Jim Thompson Art Center Bangkok. Sesi ketiga ini membahas tentang bagaimana seni harus dapat beradaptasi di tengah pandemi.
Kirim Komentar