Gudeg.net – “Sabtu (1/10) siang silakan hadir ke Taman Kota Wonosari. Ada acara Handayani Night Festival (HNF) setelah sempat vakum dua tahun karena aturan PSBB dan PPKM untuk antisipasi penyebaran virus corona.” kata Guntur Susilo saat ditemui Gudeg.net, Kamis (29/9) siang di Pendopo Agung nDalem Mangkubumen.Guntur Susilo adalah penanggung jawab dan salah satu pemrakarsa HNF yang pertama kalinya diselenggarakan pada Agustus 2019. Guntur dikenal sebagai seniman-perupa yang banyak menggerakkan aktivitas seni di wilayah Gunungkidul dengan merangkul seniman-komunitas seni maupun masyarakat luas.
Guntur Susilo (bertopi) dan seniman Ugo Untoro dengan latar belakang lukisan batik Bike to Hajuningrat saat pembukaan pameran Mulo di Indieart house, Desember 2021. (Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi)
Salah satu rintisannya yang hingga saat ini berhasil menggerakkan masyarakat adalah Kampung Batik Manding Siberkreasi (KBMS) yang dia inisiasi bersama istrinya Dwi Lestari.
Bersama dengan masyarakat lainnya di Dukuh Manding, Kepek-Wonosari, Guntur menggagas berdirinya Kampung Batik Manding Siberkreasi sebagai upaya memberdayakan ibu-ibu di desanya. Di empat belas desa lainnya setiap desa Guntur mengajari 25-30 orang untuk membatik sejak dari awal.
“Dalam setiap acara batik-batik tersebut kita perkenalkan kepada publik. Yang terbaru, kelima belas motif tersebut serta produk batik lainnya dari warga tersebut akan dipamerkan pada Handayani Night Festival 2022, Sabtu (1/10) di Taman Kota Wonosari.” Jelas Guntur, Kamis (29/9) siang.
Pada Selasa (2/10/2018) KBMS yang terletak di Jalan Wora-wari 19, RT 01 RW 08, Kepek 1, Kepek, Wonosari-Gunungkidul diluncurkan dengan acara membatik bersama ibu-ibu binaan KBMS pada selembar kain sepanjang 35 m. Peresmian peluncuran KBMS dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara.
Pada HNF 2022, selain pameran karya batik dari masyarakat Gunungkidul serta demo membatik, digelar juga peragaan busana (fashion show) dari perancang Gunungkidul dengan mengekplorasi karya batik Gunungkidul dalam rancangan pakaiannya.
Hingga saat ini Guntur Susilo telah memberikan pelatihan kepada masyarakat empat belas desa untuk membuat batik dengan menggali kekhasan ataupun akar dari desa tersebut.
Pada setiap desa, Guntur membuatkan motif yang menjadi penanda desa tersebut berdasar sejarah, cerita yang berkembang, ataupun yang lain yang nantinya bisa menjadi motif batik khas desa tersebut. Selama ini publik mengenal motif khas batik Gunungkidul adalah batik Walang.
“Saya sendiri kurang begitu sreg dengan motif tersebut. Masak kita hidup mengenakan pakaian dengan motif walang yang justru memakan diri kita. Dari situlah saya membuat motif lain yang sesuai karakter masyarakat masing-masing desa.” kata Guntur.
Guntur mengakui bahwa kendala edukasi batik lebih pada ketelatenan, karena proses membatik tidak langsung bisa dalam waktu singkat. Rata-rata yang bertahan 10-15 orang setiap desa.
Busana Kamanungsan, manusia dalam relasi yang bermartabat
Selain motif batik Manding yang menjadi ciri khas dukuhnya, hingga saat ini Guntur telah membuat motif batik untuk empat belas dukuh-desa lainnya diantaranya motif batik Bedoyo, motif batik Wonopawiro (Desa Piyaman), motif batik Cangkring, motif batik Hargosari, motif batik Jeruk Wudel, motif batik Kedung Keris (Desa Kwarasan), motif batik Pagesangan (Desa Krambil Sawit), motif batik Selogupito Megarkeri, motif batik Sinuwun (Jelok, Pathuk), motif batik Panji Kencana (Putat, Pathuk), motif batik Lo (Desa Logandeng).
Masyarakat Desa Bedoyo, Ponjong banyak menanam ketela dan dijadikan makanan ringan Manggleng yang menjadi oleh-oleh warga setempat. Citraan makanan Manggleng tersebut oleh Guntur dijadikan motif batik Bedoyo.
Objek ceplok bunga Melati, 4 tombak melintang, kayon Nongko Doyong, serta ornamen sulur menjadi visual motif batik Babad Alas Nongko Doyong. Motif tersebut lahir dari sejarah berdirinya wilayah Wonosari sebagai ibukota Kabupaten Gunungkidul dalam Babad Alas (pembukaan hutan) Nongko Doyong melalui perjuangan dan kerja keras. Sejarah tersebut direkonstruksi Guntur dalam motif batik Wonopawiro.
Motif-motif batik karya Guntur Susilo untuk pebatik binaannya di Gunungkidul. (Foto: Guntur Susilo)
Dengan membuatkan motif khas masing-masing desa Guntur mengajak sekaligus menjembatani lahirnya kreativitas yang muncul selama proses tersebut. Di kampungnya sendiri yang banyak ditumbuhi petai cina (Leucaena leucocephala) Guntur membuat motif batik Manding.
Saat ini, Kampung Batik Manding Siberkreasi telah menjadi salah satu destinasi kunjungan para tokoh dari World Craft Council (Dewan Kerajinan Dunia).
Batik mengacu pada sebuah proses pewarnaan kain melalui tahapan menghalangi medium tersebut menggunakan berbagai material. Biasanya digunakan malam (wax) untuk proses penghalangan warna tersebut. Masih sering terjadi kerancuan dengan istilah batik di masyarakat umum bahkan di kalangan seniman-perupa.
“Batik itu proses, bukan bentuk produk. Kain printing motif batik yang banyak dijumpai di pasaran itu sebetulnya bukan batik. Namun kain yang diberi warna dari hasil cetak (printing) dengan motif batik. Tanpa melalui proses perintangan malam (wax). Perintangan dengan menggunakan malam itulah yang disebut batik. Itupun masih melalui tahapan yang lain mulai dari mendesain motif/pola, membatik (lengreng), menembok (mopok), mewarnai (nyelup), meluruhkan malam (nglorot), dan setelah selesai terus dijemur. Tahapan tersebut diulang sesuai jumlah warnanya.” jelas Guntur saat ditemui di KBMS, Minggu (14/8) siang.
Pada Pameran Tunggal Satu Karya edisi ke-28 di studio podcast Kutunggu di Pojok Ngasem UWM, Guntur mempresentasikan karya series berjudul “Back to Hajuningrat” dan “Bike to Hajuningrat” dalam medium lukis batik di atas kain masing-masing berukuran 250 cm x 115 cm.
Dalam karya “Back to Hajuningrat” dan “Bike to Hajuningrat” penggalian akar tradisi menjadi eksplorasi Guntur yang dituangkan ke dalam citraan karya melalui objek-figur manusia beserta alam sekitar termasuk aksara Jawa dalam dimensi ruang-waktu yang berbeda.
Pada “Back to Hajuningrat” Guntur memperbincangkan hubungan dunia kecil diri manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta. Sementara pada “Bike to Hajuningrat” eksplorasi Guntur berujung pada pemaknaan aksara sebagai penyusun tubuh manusia untuk selanjutnya merajut dan membalut baju kemanusiaannya (Busana Kamanungsan) yaitu empat unsur yang diejawantahkan kedalam wujud Sedulur Papat Lima Pancer untuk mempresentasikan penggambaran nafsu-nafsu keduniawian (world interest) yang harus dapat dan bisa dikuasai, dirajut dan dijalin dengan cara memahami kelebihan serta kekurangannya.
Guntur menjelaskan diperlukan kesadaran manusia untuk menciptakan suasana kehidupan yang seimbang dan harmoni dalam perjalanan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kedamaian hidup di dunia ini.
Obrolan bersama Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta Nano Warsono dengan latar display karya Hajuningrat series. (Foto : official doc. Humas UWM)
Dalam sebuah obrolan di studio podcast Kutunggu di Pojok Ngasem, Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta Nano Warsono memberikan interpretasi-apresiasi pada karya series Hajuningrat. Nano menjelaskan secara visual karya tersebut merepresentasikan tentang lokalitas dari teknik batik maupun objek-objek yang digunakan sebagai simbol tradisi. Begitupun pada substansi karya yang mengangkat persoalan sosial terkait dengan keseimbangan alam serta optimisme.
“Persoalan-persoalan tersebut sering disuarakan oleh seniman bahwa penting untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dengan memperbaiki cara pengelolaan alam tetapi (paradoksnya) hal itu (perusakan alam) terus terjadi. Seniman selalu menyuarakan bagaimana menjaga dan memanfaatkan alam secara baik meskipun terus terjadi eksploitasi alam yang berlebihan.” papar Nano.
Selain KBMS dan HNF, Guntur juga terlibat aktif dalam Resan, sebuah gerakan penyelamatan dan menanam pohon untuk sumber mata air bersih di wilayah Gunungkidul yang dikenal dengan wilayah yang sering mengalami kekeringan meskipun di bawahnya banyak sumber mata air dan sunga bawah tanah. Rumah Bibit Resan menjadi upaya warga untuk menabung air dengan memperluas daerah resapan dan tangkapan dengan menanam pohon penyimpan air.
Melalui gerakan bergandengan dengan warga itulah Guntur dan Dwi Lestari bersama KBMS, HNF dan Resan membangun relasi sosial untuk bergerak bersama dalam merajut baju kemanusiaan tanpa harus dipusingkan oleh latar belakangnya untuk menyelamatkan alam lingkungan dan juga manusianya.
Karya lukisan batik “HajuningRat series” saat ini sedang dipresentasikan di Studio Kutunggu di Pojok Ngasem Universitas Widya Mataram hingga 13 Oktober 2022.
Kirim Komentar