Gudeg.net – “Itu yang menjulur warna hijau adalah tanaman Lidah Mertua. Ini menjadi inspirasi dari keseharian di sekitar rumah (saat ini) untuk menggambarkan kontradiksi pegunungan d Afghanistan dengan kondisi tanah di Indonesia dan juga kondisi alamnya. Dua karakter yang berbeda bertemu dan hidup bersama.” ujar Amin Taasha.
Kalimat tersebut disampaikan seniman-perupa kelahiran Bamiyan-Afghanistan Amin Taasha menjelaskan satu karya lukisan cat air berjudul ‘No One Sees What You See #33’ kepada Gudeg.net, Sabtu (4/2) sore.
Bersama dengan 35 lukisan cat air-guas/gouache di atas kertas, Amin mempresentasikannya di Redbase foundation Yogyakarta. Satu karya instalasi yang dibuat di lantai ruang pamer Redbase berupa miniatur lanskap pegunungan dan hamparan sungai dengan figur pemanah, patung kepala Buddha, pecahan batu-batu, serta burung-burung gagak hitam yang digantung pada langit-langit ruangan.
No One Sees What You See #12 (crop) – cat air, guas/gouache, serbuk pigmen emas dan perak di atas kertas – 30 cm x 14 cm – Amin Taasha - 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Ketiga puluh enam lukisan series ‘No One Sees What You See’ dibuat Amin dalam medium cat air, cat guas/gouache, serbuk pigmen emas dan perak di atas kertas berukuran tidak terlalu besar 14 cm x 40 cm, dan 16 cm x 28 cm. Sementara pada karya instalasi berjudul ‘To Wherever They Go’ Amin memanfaatkan cat akrilik, pecahan batu, tanah, rumput, dan terakota.
Presentasi karya-karya tersebut merupakan pameran tunggal ketujuh seniman-perupa Amin Taasha bertajuk “Unsolved Silent”.
Catatan menarik dalam pameran tunggal Amin kali ini adalah penggunaan warna yang tidak lagi gelap sebagaimana karya Amin terdahulu, dimensi karya yang tidak terlalu besar, penggunaan objek-figur maupun lanskap yang lebih variatif, serta disajikan secara berurutan yang seakan membangun sebuah narasi besar. Satu hal yang masih menjadi eksplorasi Amin adalah citraan lukisan miniatur yang sangat kental.
“Sampai saat ini saya masih terus mengeksplorasi lukisan miniatur.” ujar Amin empat tahun silam.
Ketika itu figur mini binatang kuda, burung gagak, candi, patung dan kepala Buddha, mortir bom, pergolakan, peperangan, figur-figur manusia mengenakan jubah dan turban (kain penutup kepala laki-laki sisa-sisa dari zaman Mesopotamia) dengan penggunaan pigmen warna khas hitam, merah, coklat tua dipadu dengan warna perak-emas menjadi salah satu ciri khas karya Amin Taasha.
No One Sees What You See #8– cat air, guas/gouache, serbuk pigmen emas dan perak di atas kertas – 14 cm x 30 cm – Amin Taasha - 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Merekonstruksi ingatan masa kecil serta menyandingkan realitas yang dialami saat ini, inilah yang dilakukan Amin dalam pameran tunggal ketujuhnya.
“Secara tidak sadar saya menambahkan gambar demi gambar yang saling berbalas. Setiap gambar, setiap karakter membuat banyak kenangan menjadi hidup; hal-hal yang terjadi di masa kecil saya, seperti bermain dengan sisa peralayan perang yang dikenal sebagai cluster munitions ketika kami tinggal di Bamiyan, dan berpindah-pindah antara Kabul dan Bamiyan berkali-kali. Itu membuat saya tersenyum, membuat saya sedih, membuat saya bersyukur, dan membuat saya mengingat banyak momen yang telah saya lupakan.” Amin menjelaskan.
Cluster munitions merujuk pada bom tandan/bom curah/bom klaster, sebuah munisi yang dijatuhkan ke tanah dari udara dalam bentuk submunisi. Didesain untuk merusak jalan, jalur listrik, pengantaran senjata kimia atau biologi, atau juga untuk menghancurkan ranjau, bom ini kerap digunakan untuk membunuh personel musuh dan menghancurkan kendaraan.
No One Sees What You See #23 – cat air, guas/gouache, serbuk pigmen emas dan perak di atas kertas – 28 cm x 16 cm – Amin Taasha - 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Dalam catatan pameran Amin menuliskan “Ketika saya masih kecil, kami biasa mengumpulkan amunisi, roket, dan bom bekas yang tersisa dari berbagai konflik. Kami akan membawanya kembali ke ayah saya yang tahu cara menjinakkan senjata ini. Beberapa bagian dijual sebagai besi tua, yang lain menjadi hiasan di sekitar rumah kami, seperti bom yang digunakan sebagai pot bunga. Bagian yang tersisa menjadi mainan kami, favorit khususnya adalah roket karena memiliki parasut mini.”
Sebuah ingatan yang getir bahkan peluru roket menjadi mainan favorit anak-anak di medan peperangan.
Rekonstruksi ingatan itu pula yang digunakan Amin dalam tugas akhirnya saat menyelesaikan studinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta pada tahun 2019 berjudul ‘Representasi Simbolis Objek-objek Miniatur dalam Lukisan’.
“Bamiyan, sebuah provinsi di Afghanistan sejak awal abad I merupakan lokasi biara Hindu-Buddha dibawah Kekaisaran Kushan. Nama Bamiyan diambil dari bahasa sanskrit, Varmayana, yang artinya The Place of Shining Light. Konon, nama tersebut dipilih karena patung Buddha raksasa di dinding tebing dibuat dengan hiasan batu-batu berharga yang berkilau-kilau bahkan tampak jelas saat malam hari.” papar Amin.
Jika pada kebanyakan lukisan miniatur Afghanistan yang pernah mengalami masa keemasan pada abad ke-15 hingga abad ke-16 ditandai dengan figur-figur manusia mengenakan jubah dan turban serta alam perbukitan yang tandus, pada karya ‘No One Sees What You See’ series figur-figur biksu Buddha, perempuan dan laki-laki etnis Tionghoa, patung kepala Buddha dihadirkan Amin beserta lanskap alam Bamiyan.
Sebagaimana disebutkan di awal, tanaman Lidah Mertua (sansevieria) yang banyak dan mudah tumbuh di Indonesia turut pula dihadirkan dalam sebagian besar lukisan miniaturnya. Saat memutuskan menetap di Indonesia hingga berkeluarga, kerinduan pada tanah kelahirannya yang aman dari peperangan dan kerusakan yang diakibatkan perang dicoba dihadirkan Amin dalam citraan lanskap alam dua bangsa pada sebagian besar lukisan seriesnya.
No One Sees What You See #7– cat air, guas/gouache, serbuk pigmen emas dan perak di atas kertas – 14 cm x 30 cm – Amin Taasha - 2022. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Bahkan pada karya instalasi berjudul ‘To Wherever They Go’, Amin membangun mimpinya tentang bentang alam tanah kelahirannya dan tempat tinggalnya saat ini dalam sebuah kesatuan karya : pegunungan berbatu, sungai yang terus mengalir, rumput yang menghijau, figur-objek pemburu/pemanah, patung kepala Buddha, burung gagak yang beterbangan, dan pecahan-pecahan batu.
Pada karya ‘No One Sees What You See #6’ Amin menghadirkan tiga figur yang sedang memainkan instumen musik salah satunya instrumen harpa. Sementara pada karya ‘No One Sees What You See #12’ dihadirkan figur Dewi Kwan Im yang sedang menenun kain.
“Artefak yang ditemukan di Afghanistan menanggung jejak banyak tradisi, dari Yunani dan Iran ke dunia nomaden Eurasia stepa dan Cina. Misalnya artefak pada zaman Perunggu Baktria, Aï Khanum, Bamiyan, Mes Aynak, Begram, dan Tillya Tepe. Artefak yang ditemukan di situs-situs tersebut memberi penerangan baru telah menghidupkan kembali pembahasan tentang seni, tradisi dan budaya Asia Tengah khususnya Afghanistan.” imbuh Amin.
Amin menambahkan hadirnya simbol-simbol dalam karyanya merupakan representasi dari hal-hal yang nyata seperti senjata, peralatan militer, bunga, dan Buddha, sementara mitos mencerminkan hal-hal yang dianggap tidak nyata.
Satu simbol yang selalu hadir dalam ketiga puluh enam karya Amin adalah asap dalam berbagai bentuk dan objek.
“Asap bagi saya adalah tanda alamiah, menyimbolkan kehidupan. Dalam konteks sejarah suku-bangsa kami – Hazara – asap adalah metafor untuk peradaban dan kehidupan orang-orang Hazara yang pernah eksis di Afghanistan, yang kemudian luluh-lantah jadi debu. Keutuhan peradaban mereka yang pernah ada sirna, masuk dalam keabadian.” jelas Amin Taasha.
Ketiga puluh enam lukisan series miniatur Amin dalam ‘Unsolved Silent’ yang disajikan secara berurutan dengan Bamiyan sebagai lokus ingatan masa kecilnya menjelma menjadi presentasi karya seni rupa dalam format story telling.
Hadirnya karakter bersejarah/mitos ataupun figur sehari-hari di sekitar budaya negara Afghanistan diadaptasi dimana tiap figur menceritakan kisahnya sendiri sebagai bagian dari narasi yang kompleks. Di kesempatan lain figur-figur tersebut berubah menjadi metafora, seperti kuda, burung gagak sebagai refleksi pergolakan di dalam diri atau bahaya yang dihadapi sehari-hari. Narasi yang coba diangkat Amin adalah tentang mencari perubahan dalam lingkungan yang tidak ramah, pergolakan antara diri sendiri dengan dunia luar untuk mencari jalan yang lebih baik.
Rekonstruksi ingatan tersebut menukik saat keseluruhan lukisan dalam “Unsolved Silent” tersebut dibingkai objek-objek peralatan perang : pesawat tempur, tank, alat-akat berat perang, senapan laras panjang, helikopter, pelontar roket-granat, rudal, yang kesemuanya adalah mesin-mesin yang kerap digunakan untuk menjaga keamanan wilayah pada saat bersamaan bisa berubah menjadi pemusnah kehidupan dan peradaban.
Pameran tunggal Amin Taasha bertajuk ‘Unsolved Silent’ berlangsung di Redbase foundation, Pedukuhan Jurug, Bangunharjo, Sewon-Bantul 12 Januari – 28 Februari 2023.
Kirim Komentar