Seni & Budaya

Kebun Kali Code, Siasat Kedaulatan Pangan di Sempitnya Lahan Perkotaan

Oleh : Moh. Jauhar al-Hakimi / Kamis, 04 Mei 2023 16:14
Kebun Kali Code, Siasat Kedaulatan Pangan di Sempitnya Lahan Perkotaan
Dokumentasi kegiatan urban farming di Kampung Ledok Tukangan. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Gudeg.net – “Saat awal pandemi melanda, harga pangan berangsur-angsur meningkat. Pada saat bersamaan pembatasan aktivitas masyarakat mengakibatkan warga harus banyak berada di rumah. Pada saat bersamaan pula kebutuhan untuk hidup harus dipenuhi. Bahaya kelaparan menjadi ancaman serius. Tidak ada pilihan lain ketika daya beli menurun karena tidak ada pemasukan sementara harga kebutuhan pangan terus naik. Menanam di sekitar rumah untuk memenuhi kebutuhan sendiri menjadi pilihan realistis. Permasalahan berikutnya adalah di Kampung Ledok Tukangan yang berada di bantaran Kali Code lahannya terbatas.” jelas Anang Nasichudin Sekretaris Rukun Kampung (RK) Ledok Tukangan yang membawahi 3 RW, saat ditemui Gudeg.net, Selasa (2/5) malam di Kebun Buku.

Terrarium (kiri) dan dokumentasi pembuatan eco brick (kanan) memanfaatkan bekas botol air kemasan dan sampah plastik. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Kebun Kali Code yang diperkenalkan sebelum pandemi melanda menjadi pengetahuan baru bagi warga yang bermanfaat di saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) diterapkan hampir di semua tempat di Indonesia untuk menghindari kerumunan yang bisa berakibat pada meningkatnya penularan virus corona.

Bersama istrinya Fitri Wahyu Widianingsih, Anang mempresentasikan dokumentasi kegiatan warga Kampung Ledok Tukangan saat pandemi berada pada puncaknya dalam tajuk “Nandur Gawe, Nandur Srawung” di Kebun Buku,.

Ledok Tukangan adalah sebuah kampung yang berada di bantaran Kali Code dan berada di Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta.

Selain karya seni yang dibuat Fitri, produk pupuk hasil pengolahan limbah, hasil pertanian urban farming Kampung Ledok Tukangan, serta foto-foto dokumentasi kegiatan di Kampung Ledok Tukangan, setidaknya ada tiga isu yang diangkat dalam presentasi tersebut yakni ruang publik, pembangunan pusat perbelanjaan-hotel yang berdampak pada berkurangnya daerah resapan air, serta air bersih untuk warga di wilayah Yogyakarta.

Dokumentasi kegiatan bersama warga di Kampung Ledok Tukangan. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Tiga isu tersebut menjadi permasalahan serius di wilayah Yogyakarta terutama perkotaan. Beberapa waktu lalu saat gencar pembangunan hotel-hotel di wilayah Yogyakarta, kebutuhan penyediaan air bersih menjadi sumber masalah dan konflik dengan warga sekitar hotel.

“Ini menjadi ajakan (campaign) untuk bergerak secara nyata. Hari-hari ini pemanasan global adalah masalah nyata bagi umat manusia. Kerusakan alam telah memicu peningkatan temperatur udara bumi akibat konversi lahan yang berlebihan sehingga hutan maupun ruang terbuka hijau berkurang. Ini terjadi juga di wilayah Yogyakarta. Konversi lahan produktif pertanian menjadi pemukiman serta pembangunan bangunan beton dan juga perhotelan terus terjadi.” papar Anang.

Anang menambahkan konversi lahan produktif pertanian seturut pula dengan berubahnya ruang publik menjadi ruang-ruang privat telah pula menurunkan daya dukung-tampung lingkungan yang secara signifikan memberikan sumbangan bagi perningkatan suhu udara dalam wilayah mikro/regional. Dalam wilayah sebelah menyebelah hal tersebut akan berdampak pada pemanasan global.

“Ruang publik untuk berinteraksi menjadi semakin berkurang, terkapital dengan ruang berbayar untuk bisa mengaksesnya. Ruang publik menjadi ruang dialog antarwarga. Ini penting agar perkembangan kota tetap manusiawi. Kota hadir untuk warganya.” imbuh Anang.

Presentasi karya dan dokumenter “Nandur Gawe, Nandur Srawung” di Kebun Buku. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Bersama warga Ledok Tukangan, Anang mengembangkan tiga program yakni Sanggar Ledtu Budoyo, Omah Buku Kreatif, dan Kebun Kali Code.

Di Sanggar Ledtu Budoyo warga bisa berlatih keroncong, gamelan-karawitan, kethoprak, serta tari, Omah Buku Kreatif untuk mewadahi anak muda yang menggemari multimedia salah satunya menghasilkan podcast dan film dokumenter, sementara Kebun Kali Code diperuntukkan bagi kaum perempuan dengan gerakan menanam pangan yang bertujuan menjaga kampung, menjaga seni tradisi dan didokumentasikan oleh kaum muda agar tidak hilang peristiwanya.

“Ledtu itu singkatan dari Ledok Tukangan. Ini lebih pada membuka ruang kembali. Semacam ruang srawung untuk warga lintas generasi. Sebanyak mungkin kita libatkan partisipasi warga.” kata Anang

Kebun Kali Code misalnya yang diintensikan saat pandemi memuncak menjadi siasat warga bertahan dalam menyediakan pangan dengan memanfaatkan keterbatasan lahan. Dengan menanam sayuran semusim, hasil panen dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan pangannya tanpa harus membeli.

“Warga lebih berdaulat atas hasil panennya. Orientasi dari bertahan hidup atas kondisi yang ada menuju kedaulatan atas penyediaan pangan, meskipun dalam lingkup yang tidak terlalu luas. Setidaknya warga tidak tergantung pada fluktuasi harga pangan akibat kelangkaan ataupun panen raya dan bisa untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri dalam kondisi darurat sekalipun. Konsepnya sederhana saja, dengan menanam sayuran semusim warga untuk dimanfaatkan warga secara bersama. Mencukupi bahan pangan dari menanam sendiri secara bersama pada pekarangan meskipun terbatas lahannya.” kata Anang.

Presentasi karya dan dokumenter “Nandur Gawe, Nandur Srawung” di Kebun Buku. (Foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)

Anang menambahkan selain ajakan (campaign), tiga program di Kampung Ledok Tukangan yang dijalankan secara kolektivitas komunitas menjadi ruang belajar bersama yang murah bahkan gratis dan harapannya gerak ruang tersebut bisa menginspirasi ataupun diduplikasi –semangat dan kegiatannya- di tempat lain.

“Tiga ruang publik tersebut menjadi penting bagi kampung kota agar warga bertemu dalam dialog yang cair. Kami hidup di kampung urban memerlukan ruang srawung dimana warga bisa bertemu sehingga warga kampung tidak menjadi individualis.” pungkas Anang.

Ditemui secara terpisah, Sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta Puji Qomariyah, Rabu (3/5) sore menjelaskan tantangan Yogyakarta hari ini dalam membaca realitas yang sedang dan terus berkembang akan semakin kompleks. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia turut mengubah berbagai cara baca-pandang yang berimplikasi pada relasi antarmanusia, tidak terkecuali di Yogyakarta. Menjadi tidak terhindarkan akan memunculkan budaya-budaya baru yang saling mengait dan bersilangan. Konsekuensinya nilai-nilai baru sangat mungkin muncul akan menggantikan nilai-nilai lama yang masih ada.

Puji menambahkan pertemuan-perjumpaan antarelemen masyarakat di Yogyakarta relatif masih berlangsung secara intensif sehingga memungkinkan memberikan warna bagi kehidupan serta memacu terbangunnya dialektika di masyarakat. Namun, pada sisi lain, keterbatasan ruang fisik terutama di pusat-pusat kota Yogyakarta pada saat bersamaan pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatkanya aktivitas manusia di atasnya, meningkatnya mobilitas manusia beserta entitas yang menyertainya akan sangat mungkin mendorong munculnya budaya-budaya baru dan pragmatis dalam memaknai ukuran efektif-efisien.

Ketika warga kehilangan ruang publik, ada kecenderungan mereka akan berlaku agresif dan perilaku agresif yang berlebihan akan berubah dan mengarah menjadi tindak kriminal. Proposisi yang mengatakan bahwa karakteristik lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Semakin kapitalis suatu lingkungan, maka semakin materialistis dan individulistis warganya, bahkan menjadi egoistis.

“Keterbatasan ruang fisik dengan nilai ekonomi yang tinggi di Yogyakarta pada gilirannya menjadi wilayah ‘perebutan’ sumber daya bagi banyak pihak. Ini yang perlu dicermati oleh banyak pihak. Jangan sampai perkembangan kota justru meminggirkan bahkan menihilkan warganya. ” jelas Puji.

Bagaimanapun pada kota yang humanis, manusia adalah rupa kota itu sendiri. Budaya dan kota tidak akan tumbuh dalam perjumpaan warganya yang tuna ruang perjumpaan dan tuna perjumpaan yang hangat dalam berbagai aras-arah.

Presentasi karya dan dokumenter bertajuk “Nandur Gawe, Nandur Srawung” berlangsung di Kebun Buku Jalan Minggiran No. 61 A Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta hingga 20 Januari 2023.


0 Komentar

    Kirim Komentar


    jogjastreamers

    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JOGJAFAMILY 100,2 FM

    JogjaFamily 100,9 FM


    SWARAGAMA 101.7 FM

    SWARAGAMA 101.7 FM

    Swaragama 101.7 FM


    UNIMMA FM 87,60

    UNIMMA FM 87,60

    Radio Unimma 87,60 FM


    SOLORADIO 92,9 FM

    SOLORADIO 92,9 FM

    Soloradio 92,9 FM SOLO


    GERONIMO 106,1 FM

    GERONIMO 106,1 FM

    Geronimo 106,1 FM


    UNISI 104,5 FM

    UNISI 104,5 FM

    Unisi 104,5 FM


    Dapatkan Informasi Terpilih Di Sini